Gara-gara Urusan Tanah, Perwira Polda Babel Laporkan Mantan Kades Air Anyir
Kasus tumpang tindih surat kepemilikan tanah di kawasan Lintas Timur Kecamatan Merawang terus terjadi.
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Bangka Pos Deddy Marjaya
TRIBUNNEWS.COM, BANGKA-- Kasus tumpang tindih surat kepemilikan tanah di kawasan Lintas Timur Kecamatan Merawang terus terjadi.
AKP Herliantony perwira Polri yang bertugas di Polda Kepulauan Bangka Belitung melaporkan mantan Kades Air Anyir H Abdul Rahman alias H Lapuk Senin (23/10/2017) ke SPK Polda Kepulauan Bangka Belitung.
Abdul Rahman dilaporkan karena diduga telah membuat surat tanah di atas lahan milik AKP Herliantony.
Menurut AKP Herliantony ini ia ketahui pada tahun 2016 saat dirinya akan mengurus uang ganti rugi tanah miliknya yang dibebaskan untuk pelebaran Jalan Lintas Timur.
Namun saat itu pemerintah menunda ganti rugi karena ada pihak lain yang mengaku berhak dan memilik surat tanah tersebut.
Setelah ditelusuri ternyata Abdul Rahman mengeluarkan surat tanah atas nama orang lain yang sebagian mengenai tanah milik AKP Herliantony.
"Tanah saya memiliki surat camat sejak tahun 1993 ditimpa surat yang dikeluarkan Abdul Rahman terkena sekitar 3000 m2," kata AKP Herliantony
Ditambahkan AKP Herliantony total tanah miliknya berdasarkan surat yang ia pegang seluas sekitar 12.000 m2.
Dari 3.000 m2 luas tanah yang ditimpa surat lain tersebut yakni seluas sekitar 750 m2 dibebaskan oleh pemerintah untuk jalan Lintas Timur.
Bulan Desember 2016 sudah pernah dilaporkan namun hingga kini belum ada kejelasan kasusnya makanya kembali dilaporkan.
"Saya dapat info ada penggantian ganti rugi seluas 750 m2 pembebasan untuk pelebaran Jalan Lintas Timur dengan nilai ganti rugi Rp 43 juta dari sinilah saya tahu ada surat tanah lain dilokasi tersebut dan kasus ini sudah pernah saya laporkan ini untuk kedua kalinnya dilaporkan," kata AKP Herliantony.
Sementara itu H Abdul Rahman alias H Lapuk dihubungi membantah dirinya menjadi biang terjadinya tumpang tindih surat yang dimaksud.
Menurut H Abdul Rahman setahu dirinya lokasi tersebut awalnya dikuasai oleh sebuah perusahaan pasir kuarsa sejak 1960 hingga berakhir tahun 1997.
Kemudian ada kelompok nelayan mengajukan pinjam pakai untuk bekebun. Selanjutnya dikuasai oleh PT GMP dan memegang surah hak milik.