Miris, Pejuang Kemerdekaan di Magelang Ini Tinggal di Bangunan Reyot
Perjuangan untuk merebut kemerdekaan memerlukan pengorbanan harta maupun nyawa.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, MAGELANG - Perjuangan untuk merebut kemerdekaan memerlukan pengorbanan harta maupun nyawa.
Jasa para pejuang dalam meraih kemerdekaan ini pun patut kita hargai. Namun mirisnya, masih ada mantan pejuang atau veteran yang hidupnya masih memprihatinkan.
Seperti yang dialami oleh Thohir (89), salah seorang mantan pejuang di masa kemerdekaan dulu yang kondisinya hingga kini masih memprihatinkan.
Thohir tinggal di sebuah rumah gedek berdindingkan anyaman bambu, beralaskan tanah, dan atap rumah yang berlubang di segala penjuru. Kondisi rumahnya bisa dikatakan tak layak lagi ditempati.
Ditemui di rumahnya, tepatnya di Dusun Pabelan I, Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Thohir menceritakan betapa beratnya perjuangan para tentara dalam perang melawan penjajah kolonial Belanda di zaman perjuangan meraih kemerdekaan.
Pria kelahiran tahun 1928 ini pernah menjadi Pamong yang menangani administrasi di desa, namun juga turut membantu perang melawan penjajah kolonial saat agresi militer belanda tahun 1947.
Waktu itu, Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia, dan Magelang juga menjadi jalan masuk Belanda ke Yogyakarta.
Oleh karena itu, dirinya bersama rekan sesama pejuang turut menghadang tentara Belanda.
"Saat itu saya berusia 19 tahun saat agresi militer Belanda I pecah, kami bersatu bersama tentara republik, dan rakyat, untuk menghalangi Belanda yang saat itu menyerbu wilayah Magelang," ujar Thohir, Kamis (10/11) saat ditemui di rumahnya di Desa Pabelan, Mungkid, Magelang.
Saat itu, diceritakannya, keadaan tentara dan pejuang kemerdekaan dikatakannya kalah dalam bidang persenjataan. Kondisi ini memaksa para pejuang untuk bergerilya.
Kendati demikian, semangat para pejuang begitu besar, terlebih saat rakyat juga turut membantu dalam perjuangan mereka.
"Saat itu kami kalah persenjataan, sehingga harus bergerilya. Belanda bersenjata kuat, sementara kami bermodalkan senjata seadanya dan semangat saja. Berhari-hari sampai berbulan-bulan kita bergerilya, rakyat juga mendukung dengan memberi makanan atau minuman untuk pejuang," ujarnya.
Puluhan tahun dirinya berjuang, sampai saat kemerdekaan betul-betul diraih. Ia pun hanya mengenang saat masih muda, prihatin, berjuang bertaruh jiwa raga.
Meskipun kemerdekaan sudah didapat, kini di usia rentanya, Thohir masih merasakan prihatin atas kehidupannya.
Ia masih meninggali rumah milik orangtuanya yang usianya hampir puluhan tahun.
Rumah yang ditinggalinya masih berdinding anyaman bambu yang sudah keropos, pilar-pilar penyangga juga lapuk termakan usia, alas rumah yang masih berupa tanah yang tak rata, dan atap rumahnya yang berlubang dimana-mana, dan selalu bocor ketika hujan turun.
"Mau bagaimana lagi, ini rumah saya yang saya tempati sedari dulu. Meskipun bocor saat hujan, dan angin kadang masuk lewat celah dinding rumah yang lapuk," ujar Thohir.
Beruntung dirinya masih mendapatkan uang pensiun veteran dari pemerintah sebesar Rp 2,1 juta per bulan, yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya bersama lima anak dan delapan cucunya.
Namun ia tak berharap apa-apa kepada pemerintah, kecuali untuk dapat lebih memperhatikan keadaan para legiun veteran yang dahulu brjuang meraih kemerdekaan seperti dirinya.
"Kami tidak minta apa-apa, hanya kepada pemerintah agar lebih perhatian, banyak rekan seperjuangan saya yang kondisinya tak lebih baik daripada saya. Saya hanya mohon itu," tuturnya.
Keluarga Berharap Ada Bantuan Perbaikan Rumah
Cucu Thohir, Tri Rahayu (25), mengatakan, keadaan rumah milik kakeknya memang sudah tak layak lagi ditinggali.
Meskipun begitu, kakeknya masih tidur dan beraktivitas di sana, meskipun sudah dibujuk untuk tinggal bersama keluarga di rumah lainnya.
"Mbah memang sukanya tidur di sana, namun saya merasa kasian, karena rumahnya sudah lapuk, dan bocor saat hujan," ujarnya.
Tri mengatakan, usia kakeknya memang sudah renta, dan kerap sakit-sakitan.
Ia mengakui jika kakeknya juga sudah mulai pikun, pendengarannya pun bermasalah, sehingga memerlukan pengobatan dengan biaya tidak sedikit.
Namun dia masih mencari secercah harapan dan kepedulian dari masyarakat atau pemerintah untuk membantu memberikan tempat tinggal yang layak untuk veteran pejuang yang sudah berjuang puluhan tahun untuk kemerdekaan tersebut.
"Kalau ada bantuan untuk perbaikan rumah, kami sangat mengharapkannya," ujar Tri. (tribunjogja/ Rendika Ferri Kurniawan)