Cerita Warga Kulonprogo yang Menolak Bandara Setelah Pintu dan Jendela Rumahnya Dicongkel Paksa
Pencongkelan paksa daun jendela dan pintu rumah terdampak bandara di Palihan, Senin (27/11/2017) membawa kegetiran tersendiri bagi warga.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, KULONPROGO - Pencongkelan paksa daun jendela dan pintu rumah terdampak bandara di Palihan, Senin (27/11/2017) membawa kegetiran tersendiri bagi warga.
Mereka menolak pembangunan bandara tersebut dan enggan menerima sepeser pun uang dari proyek tersebut.
Namun, di saat yang sama mereka harus menerima kenyataan pahit bahwa rumah yang telah ditinggali sekian lama itu akan tergusur.
Itu pula yang dirasakan Rohani (37), warga Pedukuhan Kragon II.
Keluarganya memang menyatakan menolak pembangunan bandara dan tergabung dalam kelompok Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulonprogo (PWPP-KP).
Rohani merasakan betul kegetiran dan kebingungan di dalam hatinya.
Saat berbincang dengan wartawan, matanya tak berhenti menatap nanar guyuran hujan yang membasahi pekarangan depan rumahnya.
Dari kusen jendela yang tak lagi berpenutup itu setelah dicongkel petugas, jelas terlihat rintikan air dari langit menggenangi bumi.
"Baru kemarin kami menggelar tahlilan 40 hari meninggalnya Ibu dan hari ini pintu kami dibongkar. Tidak ada pemberitahuan, tidak ada surat peringatan, tahu-tahu kami harus mengosongkan rumah. Ini namanya pemaksaan, tidak berperasaan," tutur Rohani, lirih.
Bangunan rumah yang tidak terlalu besar itu didiami empat kepala keluarga (KK).
Yakni, Rohani dan suaminya, Fajar, serta tiga kakak iparnya.
Rumah tersebut memang rumah tabon atau warisan dari orangtua suaminya.
Rohani mulai menempati rumah tersebut setelah menikah dengan suaminya pada 2001 dan kini sudah dikaruniai dua orang anak.
Ia lalu menegaskan bahwa keluarganya memang tidak pernah ingin menjual rumah dan tanah tersebut.
Ketika masa pembebasan tanah untuk pembangunan bandara itu dimulai, mereka sama sekali tak menghiraukannya.
Demikian pula ketika pada akhirnya model ganti rugi tanah dan bangunan itu dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri (PN) Wates, Rohani dan keluarganya sama sekali tak menggubrisnya.
Mereka teguh menolak tergusur dari tanah kelahirannya.
"Konsinyasi memang kami tidak mengikuti karena kami tidak ingin menjual rumah dan tanah ini. Rumah ini warisan orangtua dan akan diwariskan ke anak cucu nanti," kata Rohani dengan mata berkaca-kaca.
Kenyataan memang berkata lain dan keluarga Rohani maupun warga lainnya tak sangggup berbuat apa-apa ketika petugas PT Angkasa Pura I dikawal aparat mencongkel daun pintu dan jendela rumah mereka.
Upaya mereka dengan mengadang petugas tak mampu membuahkan hasil.
Pencongkelan paksa itu tetap terjadi dan lambat atau cepat mereka harus segera pindah dari rumah yang bakal diratakan tanah untuk proyek pembangunan bandara tersebut.
"Kami belum berpikir bagaimana selanjutnya. Tidak ada saudara lain yang bisa ditumpangi. Insyaallah, kami masih bertahan di sini," ucap Rohani dengan nada yang tetap lirih.
Suami Rohani, Fajar sempat berusaha mempertahankan rumahnya agar tak disentuh petugas.
Menurutnya, petugas tak berhak untuk menggusurnya karena ia tak pernah menjual tanah kepada siapapun.
"Kami tidak pernah menjual tanah kami. Dari awal kami menolak menjual tanah kami. Ini hak saya," kata Fajar kepada petugas yang berkumpul di depan rumahnya saat itu.
Warga tetap pada sikapnya untuk menolak pembangunan bandara itu menggusur tanah mereka.
Mereka menyebut tidak menjual lahan dan rumahnya sampai kapanpun karena di sanalah mereka tinggal.
Maka itu, warga menilai tindakan petugas telah merenggut hak mereka dengan memaksakan kehendak atas nama proyek pembangunan.(TRIBUNJOGJA.COM)