Senator Asal Bali Ini Dukung Polisi Usut Tuntas Kasus Pungli Water Sport Benoa
Polda Bali menduga bahwa praktik yang dijalankan para tersangka memenuhi unsur pemerasan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPD RI Bali, I Kadek Arimbawa mendukung pihak kepolisian mengusut tuntas kasus dugaan pungutan liar di perusahaan Water Sport, Tanjung Benoa.
"Kita hormati Polda Bali untuk menjalankan tugas dengan tuntas. Saya selaku anggota DPD RI sangat mendorong untuk membongkar kasus-kasus pungli di manapun yang terjadi di Bali," kata I Kadek Arimbawa dalam pernyataan persnya, Minggu(3/12/2017).
Menurut Kadek, jangan sampai organisasi baik itu adat ataupun umat memperoleh keuntungan dengan cara yang salah.
Karena itulah kata dia, penegak hukum dalam hal ini Polda Bali harus mengusut tuntas perkara tersebut tanpa tebang pilih meski para pelakunya penyelenggara negara, pemuka agama ataupun pemangku adat.
Di sisi lain, Kadek juga merasa khawatir, jika nanti putusan pengadilan membuktikan bahwa Yonda, yang notabene pemuka adat, terbukti bersalah telah menyelewengkan kekuasaannya.
Hal itu tentu akan berdampak kepada masyarakat adat yang dia pimpin.
Karenanya, ujar Kadek, mestinya sebagai pemimpin adat memberikan contoh yang baik terkait mencari rezeki yang benar.
Apalagi uang yang didapatkannya dipergunakan untuk kepentingan adat.
Diberitakan sebelumnya, Polda Bali menetapkan Yonda menjadi tersangka utama dalam kasus dugaan pungli terhadap pengusaha water sport di wilayahnya.
Yonda diduga memanfaatkan wewenangnya melakukan pungutan terhadap 24 perusahaan wisata bahari di Tanjung Benoa menggunakan Perarem yang tidak sesuai dengan aturan.
Bahkan polisi menduga adanya beberapa kegiatan premanisme terorganisir yang menyalahgunakan Perda No 3 Tahun 2003.
Yonda yang juga anggota DPRD Kabupaten Badung ini disebut berperan sebagai intellectual leader (pemimpin intelektual) atau yang memiliki inisiatif dalam menjalankan pungutan kepada sejumlah usaha water sport di Tanjung Benoa.
Terkuaknya praktik pungli yang diduga diprakarsai Yonda ini berawal dari salah satu pengusaha water sport yang merasa keberatan dengan uang yang diminta desa adat sebesar Rp10.000
Uang tersebut dimasukkan dalam tarif jasa water sport yang nantinya akan dibayar oleh wisatawan.Pungutan tersebut juga sudah berbentuk daily activity pack, sehingga tarif water sport menjadi lebih mahal.
Berdasarkan hasil penyelidikan, Polda Bali menduga bahwa praktik yang dijalankan para tersangka memenuhi unsur pemerasan sehingga mereka disangkakan pasal 368 KUHP tentang pemerasan.