Pengusaha Hotel dan Restoran Berharap Lebih Banyak Akses Bandara ke Yogyakarta
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DI Yogyakarta berharap segera dibuka Bandara Kulonprogo sehingga lebih banyak lagi akses masuk Yogya.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DI Yogyakarta berharap segera dibuka Bandara Kulonprogo sehingga lebih banyak lagi akses masuk ke Yogyakarta.
Apalagi selama ini pesawat udara kerap mengantri mutar-mutar di udara jika hendak mendarat di bandara Adi Sucipto, Yogyakarta.
"Adi Sucipto itu kan sudah padat sekali, sering mutar-mutar dulu (pesawat) di atas setengah jam karena penuh baru mendarat kalau sudah kosong. Kedua juga dipakai latihan terbang Auri dan juga sekolah penerbang, jadi kadang-kadang tidak bisa langsung masuk. Kalau dibuka (bandara Kulonprogo) bisa masuk, sehingga bisa mengisi kamar-kamar hotel yang ada di Yogyakarta," kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DI Yogyakarta, Istijab M Danunagoro ketika dikonfirmasi, Minggu (10/12/2017).
Menurut dia dengan bandara yang baru diharapkan mampu meningkatkan jumlah wisatawan masuk ke Yogyakarta.
"Wisatawan lokal, asing, aksesnya mengandalkan Adi Sucipto. Yang dari luar negeri hanya masuknya Kuala Lumpur dan Singapura. Jepang, Korea, China, Belanda, belum bisa diberikan karena sudah overload dibandaranya," kata dia.
Dia memprediksi wisatawan yang masuk ke Yogyakarta akan bertambah dari tahun ke tahun mesikpun wisatawan asing untuk saati ini hanya sekitar 212 ribu, kalau (wisatawan) nusantara 2,7 juta.
Pihaknya juga menyoroti ocupancy (tingkat hunian) utama hotel yang masih berada di ring satu seperti Malioboro area.
"Ke depan belum ada yang tertarik membangun hotel di Kulonprogo, karena kalau bangun hotel di sana tamunya tidak akan menginap di Kuloprogo tetapi di Jogja. Kita tetap minta supaya Jogja ini dilanjut moratoriumnya sampai akhir 2017. Apakah diperpanjang atau tidak masih dikaji. Sudah terlalu banyak hotel," ujar dia.
Dari tingkat hunian, data BPS rata-rata hotel berbintang di Yogyakarta itu hanya 58 persen, non bintang 30 persen.
"Jadi dibawah rata-rata, kalau sudah 70 atau 80 persen sih kita setuju saja," ujarnya.
Di Jogja ini ada musimnya, Januari-Februari-Maret-April low session (musim sepi pengunjung).
"Mei sampai Desember high session dan peak-nya, puncaknya, nanti libur lebaran dan tahun baru, lalu kalau ada long weekend. Ini kita lagi menunggu-nunggu event tahun baru, gongnya di tahun baru dan natal," ujar dia.