Misteri Mbah Satiyah 120 Tahun Warga Grobogan dengan Tela Rebus dan Kopi Hitam
Mbah Satiyah warga asli Desa Menduran, Brati, Grobogan diyakini keluarganya kini sudah berusia 120 tahun.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, GROBOGAN - Mbah Satiyah warga asli Desa Menduran, Brati, Grobogan diyakini keluarganya kini sudah berusia 120 tahun.
Meski tak ada bukti otentik bahwa Mbah Satiyah yang telah punya 40 cicit itu sudah berusia ratusan tahun. Namun ia ingat betul bagaimana sulitnya kehidupan zaman penjajahan Belanda.
Mbah Satiyah yang kini tinggal di rumah anak kelimanya, Sukayah (53), di Dusun Nganggil, Desa Karanganyar, Purwodadi, Grobogan masih tampak sehat.
Kata anak-anak dan keluarganya, Mbah Satiyah hobi makan ketela rebus dan minum kopi hitam. Itu menu harian yang tak bisa ditinggalkan.
Dan hebatnya lagi, Mbah Satiyah rajin salat serta bangun malam untuk menunaikan salat sunat tahajud. Itu ibadah yang sudah dia kerjakan sejak lama dan menjaga atau istiqomah dengan baik.
"Aku iki orak sekti, cuma tani, nanging ibadahku tekun, orak tau telat opo meneh salat tahajud. (Saya ini bukan orang sakti, hanya petani, tapi ibadah saya rajin,
tidak pernah terlambat, apalagi untuk salat tahajud-Red)," kata Mbah Satiyah, saat ditemui kompas.com, Minggu (11/3).
Hari-hari dia makan dan minum ala kadarnya tanpa adanya pembatas. Berjalan kaki pun tidak harus merepotkan keluarganya, walau acap kali memakai alat bantu tongkat.
Keperluan lain seperti mandi dan buang air di kamar mandi juga ia lakoni sendiri. Bahkan, nenek renta itu kadang mencuci pakaiannya sendiri.
Wajar jika di usianya yang sepuh ingatan Mbah Satiyah tak setajam dulu. Tetapi, saat diajak mengobrol, ia masih fasih berbicara. Hanya saja, instingnya saat mendengar dan melihat sudah mulai berkurang.
Semasa kecil hingga remaja, Mbah Satiyah tinggal di Desa Menduran, Brati, Grobogan Jawa Tengah. Konon, cikal bakal desa itu erat hubungannya dengan sepak terjang ulama kesohor Kiai Kafiluddin.
Beliau adalah tokoh yang berjuang menyebarkan agama Islam di wilayah Pantura. Kiai Kafiluddin kemudian membangun masjid di wilayah Desa Menduran pada tahun 1700-an.
Masjid kuno yang sempat direnovasi itu kini masih berdiri kokoh. Hingga kini, banyak masyarakat dari berbagai penjuru berziarah ke makam tokoh pejuang agama Islam itu di Desa Menduran.
"Mbiyen pas cilik, yen lali salat opo ngaji, mesti diciweli wong tuwoku. (Saat kecil, ketika lupa salat dan mengaji, pasti dicubiti orangtua saya-Red)," tutur Mbah
Satiyah.
"Pas wis gede nganti saiki, yen telat salat opo ngaji, mesti yen turu aku diimpeni jin sing ngamuk karo aku. Makane aku emoh ninggalke. (Ketika remaja hingga saat ini, saat terlambat salat dan mengaji, selalu saja bermimpi didatangi jin yang memarahi saya. Makanya saya tak mau meninggalkan ibadah," sambung Satiyah.
Suami Satiyah, Mat Kahar sudah lama meninggal dunia sejak anak-anaknya masih kecil. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai enam anak, dua di antaranya sudah meninggal dunia. Satiyah mempunyai empat saudara kandung yang semuanya pun sudah tiada.
"Kalau dengar azan, langsung salat. Salat lima waktu tak mau telat, bahkan tahajud juga dijalani. Ibu itu selalu menasihati kami supaya rajin ibadah. Untuk makan tak pilih-pilih. Apapun di meja dimakan. Sukanya ketela rebus dan minum kopi. Alhamdulillah, ibu tidak pernah sakit. Sejak dulu memang ikut saya," terangnya.
Disinggung berapakah umurnya, Mbah Satiyah pun menjawab tidak tahu. Tetapi, jelas diingatannya, ia pernah melewati masa-masa suram saat penjajahan Belanda di Indonesia.
Mbah Satiyah pun berulang kali terlihat marah saat memori otaknya kembali diputar tentang kekejaman tentara Belanda. Mbah Satiyah menyebut serdadu Belanda kala itu dengan istilah 'Kompeni Ijo'.
"Umurku piro aku rak ngerti. Sing rak iso lali, aku mbiyen tau digebuki Kompeni Ijo. Aku karo perawan-perawan sering ndelik ning sawah yen eneng Kompeni Ijo. Rak nduwe toto. Yen kecekel yo dianiaya. (Saya tidak tahu berapa umur saya. Tapi yang tidak bisa saya lupa, saya pernah dianiaya tentara Belanda. Saya dan perawan-perawan sering bersembunyi di sawah saat tentara Belanda datang. Tak punya aturan. Karena kalau tertangkap ya dianiaya-Red)," katanya.
Logat Jawa begitu kental terlontar dari bibirnya yang menua, karena memang Mbah Satiyah tak bisa berbahasa Indonesia.
"Anak'e Kiai Khafiludin, aku yo kenal. Enak ki wong saiki, rak eneng perang. Ayo podo rajin ibadah. Ojo podo padu, kabeh kuwi sedulur. (Anaknya Kiai Khafiludin, saya kenal. Enak itu orang sekarang, tidak ada perang. Mari beribadah yang rajin. Jangan saling menghujat, semua itu saudara-Red)," lanjut Mbah Satiyah.
Anak kelima Satiyah, Sukayah (53), mengatakan, ibundanya itu melahirkan enam orang anak termasuk dirinya. Urutannya mulai dari Sumarti, Rebi, Jumadi, Kaswadi, Sukayah, dan Kaswati.
Rebi dan Jumadi sudah meninggal dunia. Sementara cucu Mbah Satiyah berjumlah 20 orang, dan cicitnya berjumlah 40 orang.
"Anak pertamanya yang tinggal jauh berusia sekitar 90 tahun. Kakak saya itu masih hidup, tapi sakit-sakitan dan pikun. Umur ibu itu perkiraan kami sekitar 120-an tahun. Kami pernah berkumpul dan membahasnya. Tetapi di data kependudukan oleh kakak ditulis asal-asalan yang penting terdata, ditulis lahir 1925, karena kami memang orang kecil tak mau repot," papar Sukayah.
Kepala Dusun Nganggil, Marjuki menyatakan, di data kependudukan, Mbah Satiyah tercatat lahir pada 10 Januari 1925.
Meski demikian, ia masih mempertanyakan keabsahannya, karena beberapa sesepuh desanya yang tercatat ikut berjuang melawan penjajah, mengakui bahwa Mbah Satiyah adalah senior.
Mereka yang juga sudah lanjut usia itu memanggilnya dengan sebutan Mbah.
"Orang-orang di desa yang kelahiran 1925, memanggil Mbah Satiyah dengan sebutan Mbah. Kalau secara logika, Mbah Satiyah itu jauh lebih tua. Ya, hanya Allah yang tahu, petik hikmahnya saja," ucapnya. (tribunjateng/cetak/kompas.com/Puthut Dwi Putranto)