13 Orang di DIY Meninggal Dunia karena Leptospirosis
Sampai sejauh ini, penyakit akibat bakteri leptospira sp yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia telah memakan sejumlah korban
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Gejala leptospirosis mulai mewabah di sejumlah wilayah DIY.
Sampai sejauh ini, penyakit akibat bakteri leptospira sp yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia, atau sebaliknya itu, telah memakan sejumlah korban.
Berdasarkan data yang dilansir Dinas Kesehatan DIY, sedikitnya terdapat 50 warga yang dinyatakan terjangkit suspect leptospirosis.
Dari jumlah tersebut, 13 jiwa meregang nyawa, meski sampai sekarang baru satu kematian saja yang positif.
Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DIY, Setyarini Hestu Lestari, mengatakan bahwa satu korban jiwa yang sudah dinyatakan positif mengidap leptospirosis merupakan warga Bantul, yang meninggal dunia pada kisaran bulan Februari silam.
Bantul menjadi daerah penyumbang suspect leptospirosis terbesar, dengan total 27 korban, dimana enam di antaranya meregang nyawa.
Sementara di Yogyakarta, Kulonprogo dan Gunungkidul, masing-masing terdapat dua korban meninggal, kemudian Sleman satu orang.
"Ada enam yang sudah diaudit, yang meninggal di Bantul itu, satu positif. Sementara yang di Sleman, meninggal satu orang, tapi belum diaudit, karena (meninggalnya) baru kemarin, Rabu (21/3)," katanya, saat dijumpai di Kepatihan, Komplek Kantor Gubernur DIY, Kamis (22/3/2018).
Setelah dilakukan proses audit, tutur Rini, lima korban meninggal di Bantul, yang sebelumnya diduga terserang virus leptospira sp, akhirnya dinyatakan negatif.
Sementara suspect leptospirosis di derah lain, sampai sejauh ini, belum diaudit oleh pihaknya.
"Baru di Bantul yang diaudit, di daerah lain belum. Audit kasus oleh ahli kesehatan semua akan diaudit. Untuk yang Sleman, kita masih koordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat," tuturnya.
Rini menambahkan, satu korban meninggal yang dipastikan positif mengidap leptospirosis, merupakan seorang pria dewasa, yang sehari-harinya berprofesi sebagai petani.
Menurutnya, dalam kasus tersebut, faktor risikonya sudah cukup jelas.
"Usia produktif memang lebih rawan, karena mereka kan bekerja, ada di lapangan. Apalagi yang profesinya berhubungan dengan air, atau genangan, yang bisa saja tercemar kotoran tikus," tambahnya.
Untuk wilayah DIY, leptospirosis sendiri sejatinya bukan jenis penyakit baru, sehingga tidak boleh dipandang sebelah mata.
Bagaimana tidak, pada 2017 lalu, sebanyak 296 warga terserang leptospirosis, dimana kasus terbanyak dijumpai di Gunungkidul.
"Untuk suspect leptospirosis yang meninggal dunia tahun lalu ada 38 jiwa, di seluruh wilayah DIY. Namun, setelah diaudit, ada 20 yang positif," jelas Rini.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan DIY, Pembajun Setyaningastutie, mengatakan, menjaga kebersihan lingkungan menjadi hal yang harus dilakukan, untuk mencegah masuknya virus leptospira sp, yang bisa berdampak pada leptospirosis.
"Penyebabnya kan banyak, ada kubangan air, lingkungan yang tidak bersih. Jadi, ujung-ujungnya ya balik lagi, pada perilaku masyarakat," katanya.
Terlebih, saat musim penghujan seperti sekarang ini, muncul banyak genangan di lingkungan, yang sangat rawan terkontaminasi kotoran tikus.
Lebih lanjut, pihaknya akan mendorong upaya sosialisasi terkait leptospirosis kepada masyarakat luas.
"Sebenarnya (virus) itu kan pindal, pembawanya kotoran tikus. Jadi, di genangan bisa, sawah bisa, bahkan di dalam rumah pun bisa, sepanjang terdapat pindal tikus itu. Makanya, edukasi kepada masyarakat harus ditingkatkan," ungkapnya. (TRIBUNJOGJA.COM)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.