Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Perjuangan Parinah Lepas Setelah 18 Tahun Terkurung Dari Majikan di Inggris

Tetapi nyaris tiada hak yang dia dapatkan. Gaji belasan tahun tak kunjung dibayar. Ia terpasung tanpa sedikitpun diberi izin pulang.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Perjuangan Parinah Lepas Setelah 18 Tahun Terkurung Dari Majikan di Inggris
Tribun Jateng/Khoirul Muzaki
Parinah bahagia dengan keluarganya setelah pulang ke Indonesia 

Lapora Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki

TRIBUNNEWS..COM, CILACAP - 18 tahun bukan waktu sebentar bagi Parinah untuk bertahan di bawah cengkeraman sang majikan.

Ia bekerja pada keluarga dokter kandungan berkewarganegaraan Mesir, Alaa M Ali Abdalla sejak kulitnya masih kencang, tahun 1999, hingga tubuhnya merapuh karena terkikis usia.

Tetapi nyaris tiada hak yang dia dapatkan. Gaji belasan tahun tak kunjung dibayar. Ia terpasung tanpa sedikitpun diberi izin pulang.

Baca: Jejak Kompol Fahrizal, Wakapolres Yang Karirnya Moncer Tapi Berakhir Tragis

Kesabaran pejuang keluarga itu telah melebihi batas wajar.

Hingga suatu hari, Januari 2018, saat siksa batinnya tak tertahankan, juga rindu keluarga yang meledak, diam-diam ia menulis surat, tanpa sepengetahuan tuannya.

Berita Rekomendasi

Pagi hari, saat majikannya masih terlelap, diam-diam Parinah menyelinap keluar rumah. Ia lari dengan selembar surat di tangan.

Parinah harus secepat mungkin berkirim surat di kantor pos, lalu segera kembali ke rumah agar misinya tak ketahuan.

Surat itu dikirim untuk keluarganya di Kemranjen Banyumas Jawa Tengah. Isi surat cukup singkat, ada pesan kerinduan, namun jeritan kesedihan lebih tertulis tegas.

Parinah ingin pulang. Karena itu, ia minta tolong untuk dibebaskan dari rumah yang telah lama memenjarakannya.

Ia menulis lengkap alamat tempat kerjanya, juga nomor telepon sebagai petunjuk bagi siapapun yang mau menyelamatkannya.

"Saya lari ke kantor pos waktu majikan masih tidur,"katanya, Kamis (12/4/2018).

Surat dari Inggris itu akhirnya sampai di tangan keluarga, di pelosok desa Kecamatan Kemranjen Banyumas.

Surat itu kembali membangkitkan harapan yang selama ini hanya terlintas dalam doa. Sang bunda masih hidup, namun butuh pertolongan segera.

Parsin dan saudaranya kini sudah tahu bagaimana harus bertindak. Alamat lengkap dalam surat itu jadi petunjuk beharga bagi mereka untuk menjemput sang bunda.

Tidak seperti sebelumnya, selama belasan tahun ia dan keluarganya tak tahu bagaimana harus berusaha.

Parinah tak pernah berkirim kabar, baik melalui surat maupun telepon. Pun tiada alamat yang tertinggal.

Keluarga itu hanya bisa pasrah, hingga terus melangitkan doa untuk keselamatan Parinah dimanapun dia berada.

Parsin dan saudaranya lalu mengadukan masalah yang dialami ibunya ke pemerintah melalui Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP4TKI) Cilacap.

Pemerintah menindaklanjuti aduan itu dengan koordinasi lintas sektoral. Semua instansi terkait bergerak.

Puncaknya, awal April 2018, Parinah berhasil diselamatkan dari rumah majikannya dengan bantuan Kepolisian Inggris di Brighton.

"Waktu itu ada polisi datang pas saya ada di depan rumah, saya lalu dibawa ke mobil," katanya.

Parinah sempat diinterogasi polisi di kantor kepolisian setempat sebelum dibawa ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London.

Parinah memutuskan bekerja ke Arab Saudi tahun 1999 silam karena alasan ekonomi. Ia bekerja dengan keluarga dokter kandungan berkewarganegaraan Mesir, Alaa M Ali Abdalla.

Tahun pertama bekerja ia masih nyaman tanpa masalah berarti. Bahkan sang majikan disebutnya baik hati.

Karena itu, satu setengah tahun kemudian, 2011, saat majikannya mengajaknya berpindah ke Inggris, ia tak pikir panjang untuk mengikutinya.

Perlakuan majikan memang cukup baik, Parinah tidak pernah mendapat kekerasan fisik.

Tetapi untuk urusan gaji, sang majikan terbilang sadis. Parinah hanya sekali menerima gaji selama berkerja pada keluarga itu di Arab Saudi sebanyak 3 ribu real.

Selanjutnya, selama bekerja untuk keluarga itu di Inggris, Parinah hanya menerima satu kali pemberian dari bosnya sebesar 1.000 pound sterling.

"Terakhir diberi seribu pound, saya kirimkan ke keluarga di rumah,"katanya

Parinah tak tinggal diam ketika haknya tak terpenuhi. Ia berulangkali menanyakan gaji kepada majikannya. Namun permohonannya selalu dibalas dengan harapan palsu.

Sang majikan selalu menunda pemberian gajinya hingga belasan tahun sampai ia bosan menanyakannya.

Parinah bukan hanya tak merasakan hasil keringatnya, hidupnya bahkan tertawan oleh sang majikan. Ia tidak diperkenankan menengok keluarganya di tanah air.

Parinah tidak diberi akses sedikitpun untuk sekadar bertukar kabar dengan keluarga di kampung halaman. Akses dia keluar rumah dibatasi ketat. Parinah hanya diizinkan keluar dengan syarat didampingi majikan.

Dengan kondisi demikian, Parinah tentu kehabisan akal untuk melarikan diri atau mencari bantuan.

Batinnya teraniaya setiap kali bayang anak-anaknya yang ia lihat terakhir 18 tahun silam terlintas.

Foto usang anaknya jadi penawar rindu sesaat. Selain itu, ia melampiaskan kekangenan tersebut dengan mengurai air mata, hingga berderai.

"Kalau kangen lihat foto, terus menangis," katanya. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas