Ahli Psikologi Forensik: Sudi kah Pajak Disalurkan untuk Membiayai Pengobatan Pemabuk?
Menurut dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu, tidak tepat menyebut mereka sebagai korban.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amril berpendapat soal korban minuman keras oplosan yang terjadi di Jawa Barat (Jabar) mendapat layanan kesehatan di RSUD Cicalengka dan RSUD lain.
Kasus miras oplosan menewaskan 58 orang.
"Justru untuk pasien semacam ini semestinya tidak digratiskan, sudi pajak disalurkan untuk membiayai pengobatan pemabuk," kata Reza via pesan elektroniknya yang diterima Tribun Jabar, Kamis (12/4/2018).
Ratusan korban dirawat di sejumlah rumah sakit.
Dari ratusan korban, puluhan di antaranya meninggal dunia.
Menurut dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu, tidak tepat menyebut mereka sebagai korban.
"Apakah mereka dipaksa pihak lain untuk minum miras sampai sengsara? Kalau berasal dari inisiatif sendiri, berarti bukan korban miras, julukan yang pas adalah pemabuk," kata Reza.
Setelah kejadian tersebut, menurutnya bukan lagi bicara soal bagaimana mencegah korban tidak jatuh.
Menurutnya, masalahnya bukan pada tewasnya pemabuk, melainkan adalah pada konsumsi miras.
"Jadi pertanyaan yang betul adalah bagaimana menyetop orang agar tidak minum miras," kata dia.
Ia membantah soal pola mengkonsumsi minuman keras sebagai bagian dari rekreasional.
"Eit, efek diktif adalah bereskalasi. Hari ini anggaplah recreational drinking, tapi besok bisa menjadi pathological drinking," katanya.
Sebagian orang, mengkonsumsi minuman keras atau narkotika dan psikotoprika sebagai bagian dari solusi emosi atas masalah hidup.
"Justru karena mabuk, rasionalitas terganggu sehingga membikin masalah baru dalam hidup. Apalagi ketika duit habis untuk beli miras, lalu mencuri dan menjadi masalah bagi orang lain," kata Reza.