Diskusi Ansor Babel: Legitimasi Politik Calon Independen Tidak Kuat
Pimpinan Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Babel mengadakan diskusi bertajuk 'Calon Independen: Mengikis Politik Legislatif'.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, BABEL - Pimpinan Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Babel mengadakan diskusi bertajuk 'Calon Independen: Mengikis Politik Legislatif'.
Dalam diskusi tersebut, mereka mempertanyakan bagaimana bila calon independen atau yang sekarang disebut sebagai calon perseorangan terpilih sebagai kepala daerah.
Mereka pesimis bila calon dari independen yang terpilih, bisa menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Apalagi dalam merancang RAPBD, eksekutif harus menyusun bersama legislatif agar bisa menjadi APBD.
"Bahayanya kalau penyusunan anggaran tapi tidak ada dukungan legislatif, nanti pengajuan RAPBD bisa mati dia (kepala daerah yang berasal dari independen). Kalau pleno tidak ada yang setuju, roda penerintahan bisa buntu," ujar Kasarkowil GP Ansor Babel, Irwanda Pasha, di Kantor PW GP Ansor Babel, Rabu (6/6/2018) malam.
Baca: Persyaratan Untuk Calon Independen Ikut Pilkada Semakin Sulit
Selain masalah penganggaran, hal lain yang disoroti oleh Irwandi adalah soal fungsi kontrol internal terhadap kepala daerah dari calon independen.
Menurutnya, bila calon yang terpilih berasal dari parpol maka parpol bisa langsung melakukan fungsi kontrol terhadap kepala daerah.
"Terkait fungsi kontrol, kalau diusung parpol kan yang kontrol langsung parpol. Kalau independen bagaimana pertanggungjawabannya, bagaimana kontrolnya," tuturnya.
Permasalahanan kedua hal tersebut juga diamini oleh salah satu pengurus GP Ansor Babel bernama Jaka.
Menurutnya, bila calon independen terpilih, mereka tidak memiliki kekuatan dalam memperjuangkan apa yang menjadi visi-misi dan cita-cita mereka selama berkampanye.
Karena dalam prosesnya, seorang kepala daerah butuh dukungan dari legislatif untuk pengambilan keputusan strategis yang menyangkut kehidupan masyarakat daerahnya. Bila seorang kepala daerah tidak mendapat dukungan dari legislatif, maka kemungkinan untuk terhentinya roda pemerintahan semakin besar.
"Mereka tidak ada kekuatan dalam penyusunan APBD. Perda dan APBD ini kan hasil dari eksekutif bersama DPRD sebagai legislatif. Nah disini pasti ada lobi pada parpol, artinya betapa sulitnya bagi calon independen nantinya untuk melakukan lobi," tegas Jaka.
"Sehingga berat untuk perseorang untuk memprioritaskan visi-misi mereka waktu kampanye. Visi misi kan saat nanti menjabat bentuknya adalah APBD dalam penganggarannya," lanjutnya.
Selain itu, hal yang disoroti oleh Jaka adalah soal keterwakilan dari masyarakat dalam pemerintahan.
Sebab, sebenarnya keterwakilan dari masyarakat sudah dilakukan saat pemilihan wakil mereka untuk duduk di DPRD. Bila calon independen dianggap sebagai bagian dari keterwakilan masyarakat, itu sama saja akan menimbulan dua keterwakilan di pemerintahan.
"Harusnya tidak ada lagi calon perseorangan, kan kita keterwakilan diatur dalam Pancasila. Kita kan memilih wakil-wakilnya di DPRD, wakil inilah yang mengusulkan calon kepala daerah," ujarnya.
"Artinya keterwakilan kita sudah selesai. Tidak usah double keterwakilan lewat perseorangan. Itu catatan," imbuhnya.
Sementara anggota GP Ansor Babel lainnya bernama Suhardi mengingatkan, seorang kepala daerah dari calon independen memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk di impeachment atau dimakzulkan. Dirinya mengambil contoh apa yang terjadi pada Mantan Bupati Garut, Aceng Fikri.
"Setiap kebijakan yang diusung perseorangan kemungkinan untuk ditolaknya lebih besar. Di impeachment (dimakzulkan) juga lebih besar kemungkinanannya," tuturnya.