Benarkah Jadi Petunjuk Ibukota Mataram Kuno? Candi-candi yang Saling Membelakangi Masih Jadi Misteri
Dari hasil survei bawah permukaan itu nanti akan ditentukan di titik mana penelitian atau ekskavasi akan difokuskan.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, Baskoro Daru Tjahjono, mengantongi hipotesis menarik terkait letak salah satu ibukota Mataram Kuno.
Hipotesisnya menempatkan Candi Sambisari di barat daya dan Candi Kedulan di timur laut sebagai poros penting. Demikian pula poros Situs Bromonilan di barat laut dan Situs Dhari di tenggara Kalasan.
"Dua kompleks candi yang saling membelakangi itu kemungkinan adalah batas suatu permukiman karena di dalam kawasan itu ditemukan indikasi permukiman, yaitu banyaknya persebaran lumpang batu, lesung batu, dan pipisan," kata Baskoro.
Ia kini memimpin penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta di Dusun Balongbayen, Purwomartani, Kalasan, Sleman.
Baskoro menyatakan, hipotesis itu perlu pembuktian lewat penelitian lapangan.
Teknik survei geolistrik dan georadar diperlukan untuk pemetaan bawah tanah.
Berdasar keletakan Candi Sambisari dan Candi Kedulan, yang sama-sama terkubur sedalam 6-9 meter di bawah permukaan tanah sekarang, maka area luas itu praktis level kunonya ada di bawah permukaan tanah.
"Tes geolistrik dan georadar diperlukan untuk memetakan jejak di bawah permukaan tanah," kata Baskoro.
Dari hasil survei bawah permukaan itu nanti akan ditentukan di titik mana penelitian atau ekskavasi akan difokuskan.
Menjelaskan dasar hipotesisnya yang dikaitkan dengan teori kosmogoni, Baskoro menyebutkan ihwal Jambudwipa sebagai pusat pusat alam semesta.
"Kawasan itu mencerminkan konsepsi kosmogonis di atas, yaitu adanya dua sungai sebagai batas yang mencerminkan dunia yang dilingkari oleh tujuh samudera," jelas Baskoro.
Sedangkan gambaran tentang dunia yang dibatasi pegunungan yang tinggi bisa dalam arti yang sebenarnya dan bisa dalam arti simbolis.
Dalam arti sebenarnya di sebelah utara kawasan ini terdapat Gunung Merapi dan di selatan terdapat perbukitan Boko.
Gunung Merapi oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai gunung keramat, sehingga dapat dibandingkan dengan Gunung Meru di India yang merupakan gunung suci tempat tinggal para dewa.
Dalam arti simbolis candi itu sendiri merupakan simbolisasi dari Gunung Meru, sehingga jika tidak ada batas alam berupa gunung maka secara simbolis batas itu dapat digantikan oleh kompleks percandian.
Di sudut timur laut terdapat Candi Kedulan, di sudut barat daya terdapat Candi Sambisari.
"Dengan demikian harus dibuktikan di sudut tenggara (Situs Dhuri) dan di sudut baratlaut (Situs Bromonilan) juga terdapat candi yang berlawanan arah," lanjutnya.
"Selain membuktikan bahwa kawasan itu dibatasi oleh empat kompleks candi juga harus dibuktikan adanya kraton atau istana raja di tengah kawasan tersebut.
Jika Gunung Merapi disamakan dengan Gunung Meru di India, maka Gunung Merapi juga dapat dianggap sebagai pusat magis Kerajaan Mataram Kuna, karena gunung dianggap sebagai tempat tinggal para dewa.
"Oleh karena itu tentunya di sekeliling Gunung Merapi masih merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno," tulis Baskoro dalam laporan pendahuluan penelitian.
Konsepsi kosmogonis ini sangat kuat pengaruh Indianya, karena dibawa bersamaan menyebarnya ajaran Hindu dan Buddha keluar dari negeri itu. Konsepsi geografi itu juga sangat mempengaruhi konsep kepemimpinan.
Keselarasan makrokosmos dan mikrokosmos adalah harmoni antara dunia manusia dengan semesta. Penguasa dunia manusia adalah raja. Dengan sendirinya raja adalah manifestasi dewa penguasa jagat raya (konsep dewaraja). Ia berhak mengatur kehidupan dunia dan seisinya.
Meski tidak secara khusus meneliti, konsepsi kosmogonis ini juga ada indikasi diwujudkan dalam pembangunan titik-titik spiritual di lereng barat Merapi. Candi Wukir di Kadiluwih dan Candi Gunungsari di Gulon juga berposisi diagonal.
"Kedua candi di Magelang ini agak-agak mirip keletakannya seperti Candi Sambisari dan Candi Kedulan," kata Baskoro. Kedua candi di Magelang itu tergolong bangunan dari awal Mataram Kuno, yaitu masa Sanjaya (746 M).
Berabad kemudian, ketika Majapahit muncul sebagai imperium besar, konsep kosmogoni ini tetap diterapkan. Jejaknya bisa dilihat dari situs Trowulan, yang dipercaya sebagai pusat Wilwatikta pada abad 12/13.
Hingga Mataram Islam, konsepsi Hindu/Buddha itu masih mewarnai arsitektur bangunan dan penentuan keletakan unsur-unsur keraton. Bahkan konsep sultan sebagai pemimpin dunia dan wakil Tuhan di dunia seperti gelarnya, secara tak langsung mengadopsi konsep tersebut.
Dalam tulisannya di jurnal Berkala Arkeologi (Tahun XXVIII, November 2008), Baskoro menyatakan, ibukota negara atau kerajaan tidak saja pusat kekuatan politik dan budaya, tapi juga pusat magis kerajaan.
Karena itu untuk harmoni makro dan mikrokosmos, kerajaan harus memiliki susunan dan bagian yang sama dengan jagat raya. Contoh, dalam Hindu/Buddha, jagat raya berpusat pada gunung Meru.
Karena itu kerajaan harus memiliki Meru di pusatnya. Bisa gunung, bukit alami, bukit buatan, hingga kemudian mewujud dalam candi sebagai simbol Meru.
"Keraton Majapahit dibangun dengan tempat tinggal raja di tengah-tengah, dikelilingi rumah pejabat dan pengikutnya. Orientasi perletakan bangunan penting mengikuti hirarki kepercayaan Hindu dan Buddha," tulis Baskoro dalam artikelnya.
Ia menyebutkan, sedemikian minimnya petunjuk tentang letak lokasi pusat kedaton Mataram Kuno, membuat ibukota kekuasaan yang meninggalkan banyak bangunan megah itu seperti berselimut misteri.(Tribunjogja.com/xna)
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Misteri Candi-candi yang Saling Membelakangi, Mungkinkah Ini Petunjuk Ibukota Mataram Kuno?,