Kisah Sugeng Mulyadi, Kades dari Minoritas Mampu Bangun Kerukunan Umat Beragama di Klaten
Sugeng Mulyadi tak pernah berambisi menjadi Kepala Desa Nglinggi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Editor: Sugiyarto
"Soalnya di Nglinggi kan kearifan lokalnya kuat, juga tradisinya."
"Tapi karena di sana sudah guyub, kelompok ini tak punya banyak pengaruh. Jadi tidak terpancing," ungkapnya.
Mujtaba mengatakan Wahid Foundation terlibat dalam mengencangkan partisipasi perempuan dalam pengelolaan pemerintah desa.
Menurut Sugeng Mulyadi, kini posisi Ketua RT atau RW banyak diduduki kaum perempuan.
Bekerja dengan perempuan, kata dia, lebih efektif.
"Bedanya jika ibu-ibu itu, jika ada program sudah diputuskan langsung eksekusi.'
"Kalau bapak-bapak pasti agak molor. Makanya kalau ada masukan dari ibu-ibu, pasti dijalankan."
Membuat peraturan desa
Sementara sebagai kepala desa, Sugeng merancang peraturan desa (Perdes) tentang pemanfataan makam.
Peraturan itu lahir dari banyaknya keluarga dengan latar belakang agama yang berbeda.
Hal lainnya yang ingin ia lakukan ialah membangun gedung serbaguna untuk kegiatan seni dengan menggunakan dana desa.
"Orang kalau sudah bicara agama kan bisa langsung meninggi."
"Jadi supaya tidak ada potensi konflik, harus diatur," kata Sugeng,
"Misalnya saya Islam, tapi anak-anak Kristen, ketika meninggal mau dimakamkan dengan cara apa?"
"Nah ini kita atur supaya anak-anaknya hidup itu saling menghargai."
Sosiologi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Sunyoto Usman menyebut ada tiga syarat menjaga toleransi.
Yakni adanya ideologi yang mempersatukan semua agama dan etnis, interpendensi atau ketergantungan ekonomi, dan afiliasi silang.
Jika salah satunya tak ada, maka ancaman intoleransi akan muncul.
"Kalau di Madura itu, orang setempat jadi petani tembakau, warga Tionghoa rokernya."
"Nah dua pihak itu tidak pernah mempersoalkan perbedaan, karena saling ketergantungan ekonomi," jelas Sunyoto.
"Afiliasi silang itu maksudnya orang tidak berkelompok hanya dengan identitas yang sama."
"Misalnya berkesenian atau olahraga."
"Olahraga itu kan yang dilihat kemampuannya, bukan agama apa atau etnis apa."
Menurutnya, setiap desa di Indonesia memiliki keunikan menciptakan toleransi.
Namun tiga syarat itu mutlak ada jika tak ingin kehilangan identitas meski berada di lingkungan yang sama. (*)