Doktrin-doktrin Isu Kiamat ke 52 Warga Ponorogo, Anak Berhak Sebut Orangtua 'Kafir' Jika Tak Ikut
Bupati Ponorogo, Ipong Muchlissoni, mengatakan 52 warganya yang pindah ke Malang karena isu kiamat diduga didoktrin aliran keagamaan.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, PONOROGO - Bupati Ponorogo, Ipong Muchlissoni, mengatakan 52 warganya yang pindah ke Malang karena isu kiamat diduga didoktrin aliran keagamaan.
Warga tersebut meninggalkan rumah mereka di Desa Watubonang, Kecamatan Badegan, Ponorogo, karena ingin menyelamatkan diri dari kiamat.
Ipong menuturkan, puluhan warga Ponorogo itu pergi ke Pondok Pesantren Miftahul Falahil Mubtadiin, milik pengasuh pondok bernama Muhammad Romli.
Baca: Lima Manfaat Kulit Telur yang Jarang Diketahui: Suplemen Kalsium hingga Pupuk
Ponpes itu berada di Dusun Pulosari, Desa Sukosari, Kecamatan Kasembon, Malang.
"Mereka pergi ke Ponpes Miftahul Falahil Mubtadiin. Mereka ini penganut thoriqoh Musa AS. Saya juga baru mendengar ada nama thoriqoh ini. Di NU ada 40 nama thoriqoh, tapi thoriqoh Musa ini nggak ada," kata dia kepada wartawan di ruang kerjanya, Rabu (13/3/2019) malam.
Ipong Muchlissoni mengungkapkan berdasarkan informasi yang diterima, warganya pergi ke Malang karena mendapatkan ajaran bahwa sebentar lagi dunia akan kiamat.
Apabila warga ingin selamat dari kiamat, mereka harus tinggal bersama dan mengikuti ajaran di pondok.
Ipong menuturkan banyak ajaran yang tidak masuk akal pada aliran ini.
Ipong mencontohkan bagi mereka yang ikut thoriqoh ini akan selamat seperti kisah dalam Nabi Nuh.
Saat kiamat terjadi, seluruh dunia akan hancur kecuali pengikut thoriqoh itu.
Baca: Link Live Streaming Drawing Babak Perempat Final Liga Champions 2019, Tonton Di Sini Pukul 18.00 WIB
Selain itu, pada bulan Ramadan tahun ini, dikatakan akan terjadi huru-hara, dan perang besar, sehingga para pengikut thoriqoh ini diminta menyiapkan senjata atau membeli pedang seharga Rp 1 juta yang di jual pihak pondok.
"Mereka juga diminta untuk mengibarkan bendera Tauhid di depan rumah mereka," jelas Ipong.
Selain itu, ada fatwa yang menyebutkan akan terjadi kemarau panjang selama tiga tahun mulai 2019 hingga 2021, yang mengakibatkan paceklik atau larang pangan.
Jamaah diminta menyetorkan gabah per orang 500 kg ke pondok.
Selain menyediakan senjata berupa pedang dengan harga Rp 1 juta, pengelola pondok juga menyediakan foto pengasuh yang dijual seharga Rp 1 juta rupiah sebagai pusaka teknologi anti gempa.
Lebih lanjut, kata Bupati Ipong, ada juga perintah yang menyebutkan bahwa anak yang ikut thoriqoh ini dan orang tuanya tidak ikut, maka sang anak berhak menyebut orangtuanya sebagai kafir.
"Anak usia sekolah tidak boleh sekolah karena ijazah tidak berguna. Anak menghukum kafir orangtuanya jika tidak berbaiat thoriqoh akmaliyah sholihiyah," bebernya. (Rahadian Bagus)
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Begini Doktrin Isu Kiamat ke 52 Warga Ponorogo, Anak Berhak Sebut Orangtua 'Kafir' Jika Tak Ikut