Kisah Perjuangan Disabilitas Asal Banyumas yang Mahir Membuat Wayang, Ingin Bertemu Jokowi
Sudah 17 tahun lamanya, Nardi lebih banyak menghabiskan waktu berada di atas kasur. Separuh anggota tubuhnya bagian bawah tak bisa digunakan
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, BANYUMAS - Hati siapa yang tidak merasa tersentuh melihat Nardi (29) berjuang melawan keterbatasan fisik yang dimiliki.
Masa indah kanak-kanak dan remajanya telah terenggut karena kelumpuhan yang dialaminya.
Sudah 17 tahun lamanya, Nardi lebih banyak menghabiskan waktu berada di atas kasur.
Separuh anggota tubuhnya, bagian pinggang sampai ke ujung kaki tidak dapat lagi dipergunakan.
Kondisi tersebut dia alami akibat semasa kecil pernah terjatuh dari pohon kelapa setinggi sembilan meter di pekarangan rumahnya.
Ketika itu dia masih berumur 12 tahun.
Seperti halnya anak laki-laki lain yang suka memanjat pohon, Nardi pun melakukan hal yang sama.
Tetapi nasib kurang beruntung di alaminya, ketika menaiki pohon kelapa dia harus terjatuh dengan posisi terduduk yang mengakibatkan tulang punggung atau tulang bagian belakangnya patah.
Kejadian tersebut sangat berakibat fatal bagi kehidupan Nardi.
Semenjak saat itulah dia di vonis dokter tidak dapat berjalan untuk selamanya.
Pukulan yang begitu berat untuk keluarga bahwa anak mereka yang masih berumur 12 tahun menanggung kesakitan begitu dalam.
Sang ibu (Narpen) tidak tinggal diam melihat kondisi anaknya tersebut.
Pada 2002 Nardi melakukan operasi pertama di bagian paru-paru.
Sebab menurut dokter, selepas terjatuh berdampak pada paru-parunya yang ternyata bocor.
Lepas satu tahun keadaan paru-parunya membaik.
Tetapi saluran kencingnya bermasalah dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Hingga akhirnya dokter pun menyatakan Nardi tidak dapat lagi buang air kecil melalui alat vitalnya.
Kini dia mengandalkan selang yang terpasang di bagian perut bagian bawah sebagai saluran pembuangan.
"Saya setiap hari harus membuang air kencingnya. Hati ibu mana yang tidak merasa sedih melihat anak laki-laki nya hanya terbaring di atas kasur," ujar Narpen kepada Tribunjateng.com, Senin (25/3/2019).
Selang tersebut setidaknya harus di ganti sebulan sekali dengan berobat jalan rutin ke Rumah Sakit Margono, Purwokerto.
Nardi tinggal di Desa Papringan RT 4 RW 5, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas.
Semenjak berumur 9 tahun dia hanya tinggal bersama dengan ibu dan neneknya.
Ayahnya sudah bercerai dengan ibunya semenjak dia masih kecil.
Karena untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Narpen berjuang mencari nafkah dengan merantau ke Jakarta.
Karena tidak dapat setiap hari mengawasi, akhirnya Nardi berada pada pengawasan sang nenek.
Sudah 17 tahun lamanya Nardi menghabiskan waktu berada di atas kasur tanpa bisa aktifitas kemana-mana.
"Memang terkadang merasa miris, jangankan bisa bersekolah seperti anak-anak yang lain, saya duduk saja merasa kesakitan," ungkap Nardi.
Sudah berbagai cara dan upaya untuk menyembuhkan sakit yang di derita Nardi.
Mulai dari pengobatan urut tradisional dan orang-orang pintar. Tetapi hasilnya tetap saja nihil.
Nardi mengaku sempat begitu putus asa dan hilang semangat.
Sempat mengalami stres dan patah arah hingga berencana untuk mengemis saja di pasar Banyumas.
Dalam sebuah percakapan Nardi mengungkap kesedihannya kepada ibunya Narpen.
"Ma, apa mending dewek ngemis bae yuh neng pasar go nguripi mangan sedina-dina (Bu apa lebih baik kita mengemis saja di pasar untuk membiayai makan kita sehari-hari)," ucap Nardi kepada ibunya Narpen.
"Aja lah, sapa sing arep mbopong koe, mamake ya ora kuat di (Jangan lah, siapa nanti yang mau mengangkat mu ke pasar, ibu tidak kuat)," jawab Narpen.
Gejolak batin tersebut tidak semua orang dapat menghadapinya.
Bagi sebagian orang mungkin justru memanfaatkan kekurangan fisik yang mereka alami untuk mengemis dan mendulang rupiah. Tapi tidak bagi Nardi.
Di tengah kondisi yang dilematis tersebut akhirnya dia menyibukkan diri dengan melakukan hobi kesukaanya, yaitu menggambar.
Semenjak SD dia memang suka menggambar dan belajar banyak tentang tokoh pewayangan.
Kurang lebih 3 tahun setelah dia terjatuh dari pohon kelapa, dia mulai membuat kerajinan wayang yang terbuat dari kertas karton.
Langkah pertama yang dia lakukan adalah dengan menggambar sketsa wayang di kertas karton.
Setelah itu kerangka wayang yang sudah di gambar dipotong, diukir, dan dilapisi cairan minyak.
Barulah setelah itu proses pengecatan yang begitu detail.
Dalam mengerjakan wayangnya tersebut Nardi dibantu juga oleh kakak pertamanya, terutama untuk bagian ragangan bambu wayang.
Awalnya dia membuat wayang karton hanya untuk menghabiskan waktu saja.
Tetapi seiring berjalannya waktu, Nardi mempergunakan sosial media untuk menjual hasil kreasinya tersebut.
Bahkan pembelinya kebanyakan berasal dari luar daerah seperti Kediri dan Jakarta.
Harga wayangnya bervariasi tergantung ukuran. Ukuran wayang yang besar dihargai Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu.
Ukuran kecil hingga sedang dihargai Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu-an.
Wayang buatan Nardi memang hanya terbuat dari bahan karton. Tetapi kreasinya hampir menyamai kualitas wayang kulit yang harganya sampai jutaan.
Nardi mengaku ingin sekali berjumpa dengan Presiden Jokowi, dia ingin karyanya dibeli Jokowi.
Jika memang Presiden mau membeli karyanya tersebut, Nardi akan menyiapkan wayang-wayang khusus untuk presiden.
"Saya kepengen sekali bertemu Presiden Jokowi, berharap pak Jokowi dapat membeli karya saya ini, Iya meskipun hanya terbuat dari karton," harap Nardi.
Nardi mengajarkan kita bagaimana berjuang melawan keterbatasan.
Di saat dia hilang semangat dan harapan hidup, disitulah Tuhan memberikan petunjuk agar Nardi menjalankan sisa hidup dengan karya.
Terbukti meskipun lumpuh dan tidak dapat beraktifitas seperti orang normal, tetapi dia masih berkarya dengan membuat kerajinan wayang karton. (jti)