Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Penganiayaan Siswi SMP Pontianak Masuk Golongan Ringan, Ini Alasan Polisi

Ketiga tersangka dijerat dengan pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak dengan ancaman pidananya 3 tahun 6 bulan

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Penganiayaan Siswi SMP Pontianak Masuk Golongan Ringan, Ini Alasan Polisi
Destriadi/Tribun Pontianak
Kapolresta Pontianak Kombes Muhammad Anwar Nasir menjenguk korban penganiayaan di RS Promedika, Jalan Gusti Sulung Lelanang, Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019) siang. Kapolresta menegaskan untuk proses hukum kepada para pelaku tetap berjalan sesuai undang-undang yang berlaku. 

Laporan Wartawan Tribun Pontianak Nasaruddin


TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK - 
Berdasarkan fakta yang ada, termasuk hasil visum korban yang dikeluarkan rumah sakit, penganiayaan siswi SMP Pontianak, Au (14) termasuk dalam kategori penganiayaan ringan.

Kapolresta Pontianak, Kombes M Anwar Nasir mengatakan, tiga tersangka penganiayaan siswi SMP Pontianak, Au (14) dikenakan pasal 80 ayat 1 Undang-undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara tiga tahun enam bulan.

"Sehingga kita tidak bisa melakukan penahanan. Atau tepatnya dilakukan diversi. Sehingga kita melakukan koordinasi dengan KPPAD," kata Kapolres. 

Berdasarkan hasil visum yang dilakukan rumah sakit, maka tidak ada alasan pihaknya melakukan penahahan terhadap tersangka.

"Atas dasar apa harus kita tahan? Karena hasil visumnya juga mengatakan tadi. Tidak terjadi apa-apa," papar Kapolres.

M Anwar Nasir mengatakan, ada kronologis yang terlalu dilebih-lebihkan. 

BERITA REKOMENDASI

"Tetapi fakta yang ada, boleh dikroscek langsung ke rumah sakit," katanya.

Baca: Kronologi Lengkap Kasus Penganiayaan di Pontianak, Bermula Viral di Sosmed hingga Fakta yang Terjadi

Kapolresta mengatakan, tiga tersangka sudah ditetapkan.

"Hasil penyelidikan terakhir kita akhirnya menetapkan tiga orang tersangka yakni, FZ alias LL (17), kemudian TR alias AR (17), serta yang ketiga NB alias EC (17)," kata Kapolresta Pontianak Kota Kombes Pol Muhammad Anwar Nasir.

Dirinya menuturkan ketiganya ditetapkan tersangka berdasarkan hasil penyelidikan dan berdasarkan keterangan mereka.

"Dimana mereka mengaku telah melakukan penganiayaan tetapi tidak secara bersama-sama, mengeroyok seperti itu," katanya.


Muhammad Anwar Nasir melanjutkan, aksi ketiganya pun tidak bersama-sama.

"Yang melakukan pertama tersangka satunya, kemudian lanjut lagi tersangka kedua, kemudian ketiga," paparnya.

Ketiga tersangka ini pun kata dia, dijerat dengan pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak dengan ancaman pidananya 3 tahun 6 bulan.

"Kategori penganiayaan ringan yang dikeluarkan hari ini oleh RS Mitra Medika," jelasnya.

Anwar melanjutkan dalam pemeriksaan dilakukan pendampingan orangtua, kemudian Lapas, dan KPPAD.

Anwar menegaskan, hasil visum menyatakan tidak ada permukaan sobek maupun memar di bagian kelamin korban.

"Kemudian dari pengakuan korban tidak adanya menerangkan pemukulan di bagian kelamin. Dari lima saksi yang juga diperiksa juga tidak ada perlakuan penganiayaan terhadap kelamin korban," ungkapnya.

Fakta yang ada, kata Kapolresta, ketiga tersangka salah satunya ada yang menjambak rambut, ada juga yang mendorong sampai terjatuh, ada pula tersangka satu sempat memiting, dan memukul sambil melempar sendal.

"Itu ada dilakukan tapi hasil visumnya seperti yang tadi, sehingga kasus ini kita proses sesuai dengan fakta yang ada."

Anwar menegaskan pihaknya sudah melakukan olah TKP di lokasi kejadian. "Sudah ada olah TKP. Sesuai dengan arahan Ditreskrimum Pold Kalbar kita mungkin akan melakukan rekonstruksi agar ada persesuaian."

Motif penganiayaan ini, kata dia, yakni rasa dendam dan kesal tersangka terhadap korban.

Seperti Apa Hasil Visum Korban?

Hasil visum siswi SMP Pontianak korban pengeroyokan disampaikan Kapolresta Pontianak, Kombes M Anwar Nasir, Rabu (10/4/2019).

Menurut Kapolresta, hasil pemeriksaan visum dikeluarkan Rumah Sakit Pro Medika Pontianak, hari ini, Rabu 10 April 2019.

M Anwar Nasir mengatakan, dari hasil visum diketahui jika tak ada bengkak di kepala korban.

Kondisi mata korban juga tidak ditemukan memar. Penglihatan korban juga normal.

Lebih lanjut Kapolresta mengatakan, untuk telinga, hidung, tenggorokan (THT) tidak ditemukan darah.

"Kemudian dada tampak simetris tak ada memar atau bengkak, jantung dan paru dalam kondisi normal," katanya.

Kondisi perut korban, sesuai hasil visum tidak ditemukan memar. Bekas luka juga tidak ditemukan.

"Kemudian organ dalam, tidak ada pembesaran," jelasnya.

Selanjutnya Kapolresta menyampaikan hasil visum alat kelamin korban.

Menurut Kapolresta, selaput dara tidak tampak luka robek atu memar. Anwar mengulangi pernyataannya terkait hal ini.

"Saya ulangi, alat kelamin selaput dara tidak tampak luka robek atu memar," katanya.

Hasil visum juga menunjukkan kulit tidak ada memar, lebam ataupun bekas luka.

"Hasil diagnosa dan terapi pasien, diagnosa awal depresi pasca trauma," ungkap Kapolresta.

Apa Itu Diversi?

Kapolresta Pontianak, Kombes M Anwar Nasir sempat menyebut bahwa kasus ini dilanjutkan dengan diversi.

Lalu apa sebenarnya arti diversi?

Dilansir Tribun dari tulisan Dr Ridwan Mansyur SH, MH di situs resmi Mahkamah Agung, dinyatakan, bahwa menurut UU Sistem Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Diversi mempunyai tujuan untuk:

Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) 4 tahun 2014, musyawarah diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan Anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, perawakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif.

Sedangkan Fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan.

Diversi adalah pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang dan sangat kaku.

Mediasi atau dialog atau musyawarah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk mencapai keadilan restoratif.

Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana Anak tidak kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain masih meninggalkan permasalahan tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum.

Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi.

Institusi penghukuman bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu acara dan prosedur di dalam sistem yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara yang salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, melalui suatu pembaharuan hukum yang tidak sekedar mengubah undang-undang semata tetapi juga memodfikasi sistem peradilan pidana yang ada, sehingga semua tujuan yang di kehendaki oleh hukumpun tercapai.

Salah satu bentuk mekanisme restoratif justice tersebut adalah dialog yang dikalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan "musyawarah untuk mufakat”.

Sehingga diversi khususnya melalui konsep restoratif justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.

Jika kesepakan diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan, maka Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak.

Hakim dalam menjatuhkan putusannya wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi.

Dalam PERMA 4 tahun 2014 dijelaskan bahwa Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (pasal 2).

PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi, dimana fasilitor yang ditunjuk Ketua Pengadilan wajib memberikan kesempatan kepada :

Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan
Orang tua/Wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan
Korban/Anak Korban/Orang tua/Wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.
Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian dan/atau dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus).

Kaukus adalah pertemuan terpisah antara Fasilitator Diversi dengan salah satu pihak yang diketahui oleh pihak lainnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas