Ketika Irwandi Yusuf Bicara Soal Pernikahannya dengan Fenny Steffy Burase
Irwandi Yusuf merasa bersyukur bahwa pernikahannya sudah diakui secara tersirat dan tersurat oleh pengadilan.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Dalam tiga hari terakhir, Irwandi Yusuf sering berkomunikasi dengan dua wartawan Serambi Indonesia, Muhammad Anshar dan Yarmen Dinamika.
Intinya, Gubernur nonaktif Aceh itu ingin menyampaikan unek-uneknya melalui Serambi tentang dua hal.
Pertama, tentang vonis hakim pada 8 April lalu yang menghukumnya tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Kedua, tentang status hubungannya dengan Fenny Steffy Burase, mantan model asal Manado yang dekat dengan Irwandi dalam dua tahun terakhir.
Agar apa yang ingin disampaikan pria yang akrab disapa Teungku Agam ini tergali lebih dalam, Serambi mengajukan sejumlah pertanyaan untuk dijawabnya.
Kemarin sore, jawaban atas pertanyaan itu diperoleh Serambi melalui WhatsApp.
Berikut petikannya:
S (Serambi): Pada sidang terakhir kasus Anda, majelis hakim menghukum Anda tujuh tahun penjara, pencabutan hak politik selama tiga tahun, dan denda Rp 300 juta. Apakah putusan itu adil menurut Anda?
IY (Irwandi Yusuf): Saya heran dengan JPU (jaksa penuntut umum) dan majelis hakim. Di depan persidangan, baik JPU maupun majelis hakim telah mendengar dengan jelas keterangan puluhan saksi yang dihadirkan.
Tidak satu saksi pun yang dihadirkan JPU mengatakan saya tahu dan/atau terlibat dalam perkara yang dituduhkan kepada saya dan tidak ada barang bukti apa pun yang dihadirkan untuk mempersalahkan saya.
Tuntutan JPU semuanya dengan asumsi dan dengan halusinasi.
Tentang kinerja hakim pun saya merasa prihatin sekali. Hakim memegang banyak perkara.
Bukan satu perkara dulu yang ditangani sampai selesai. Tapi hakim memegang dan menyidang banyak perkara dalam satu hari, hanya jamnya saja yang berbeda.
Hakim baru selesai tugasnya di pengadilan negeri tengah malam setiap hari.
S: Lantas, apa dampaknya?
IY: Dengan penuhnya waktu hakim menyidangkan banyak perkara dalam satu hari, saya ingin bertanya kapan hakim ada waktu untuk membaca dakwaan dan tuntutan JPU, keterangan saksi-saksi, bantahan terdakwa, dan pleidoi yang disampaikan pihak terdakwa yang jumlahnya ribuan halaman?
S: Tapi kan ada panitera yang membantu?
IY: Ya, di belakang hakim memang ada panitera, tukang catat. Di kantor ada tukang ketik.
Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa vonis yang dijatuhkan atas terdakwa dibuat oleh panitera.
Panitera menerima order dari hakim tentang hukuman yang dijatuhkan.
Maka, tidak heran jika keputusan hakim adakah copy paste dari surat dakwaan JPU dan surat dakwaan JPU adalah copy paste BAP dari penyidik.
Fakta persidangan sama sekali tidak digubris JPU dalam membuat tuntutan maupun oleh majelis hakim dalam membuat putusan.
Padahal, ini menyangkut kehidupan manusia yang berada di bawah kekuasaannya.
Inilah ciri perkara orderan.
Saya memohon kepada Allah agar menempatkan JPU dan hakim yang mengadili suatu perkara dengan benar dalam surga jannatun na’im serta memasukkan JPU dan hakim yang menzalimi pencari keadilan ke dalam neraka jahim. Kekal dia di sana.
S: Pada sidang pamungkas itu juga disebutkan oleh hakim bahwa Fenny Steffy Burase itu istri Anda. Apa tanggapan Anda?
IY: Kalau hukum nasional kita menganut hukum positif, seharusnya hakim tidak perlu menyebut perkara itu dalam surat keputusan karena hal ini sama saja menciptakan yurisprudensi baru yang dengan yurisprudensi itu masyarakat tak perlu lagi mendaftarkan pernikahannya pada instansi negara.
Contohnya sudah ada, nikah syar’i (sah di hadapan Allah) sama diakui dengan resmi menurut negara.
Saya bersyukur juga pernikahan sudah diakui secara tersirat dan tersurat oleh pengadilan.
S: Jadi, apakah Anda yang menurut pengadilan sudah merupakan suami dari Steffy akan menikahinya secara resmi?
IY: Menurut ustaz, ada dua hal dalam hidup ini yang mutlak tidak dapat dipilih, yaitu pernikahan dan kematian. Bila berjodoh, ya berjodoh.
Tetapi, jika kita menganut teori yang di atas tadi yang tidak bisa ditentukan oleh manusia adalah pernikahan dan kematian, maka sebenarnya pernikahan kami tidak lagi perlu dipertanyakan.
Sudah sah di hadapan Allah dan di pengadilan.
Tinggal lagi kita mintakan surat keputusan pengadilan, lalu diserahkan ke KUA (Kantor Urusan Agama) untuk memperoleh akta nikah resmi.
Pasti akan menimbulkan polemik hukum. Maka, mengapa kita tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Allah saja?
S: Apakah Anda akan mengulang pernikahan dengan Steffy?
IY: Sebenarnya dengan adanya pemberitaan ini sama juga dengan pengumuman pernikahan.
Terlepas dari surat keputusan pengadilan di atas, jika para pihak menginginkan pernikahan diulang, ya bisa diulang kapan saja.
Kekhawatiran wanita adalah predikat wanita simpanan jika pernikahannya tidak diketahui umum.
Perasaan demikian wajar-wajar saja.
Coba kita yang lelaki berpikir dengan alam pikiran wanita. Pasti akan merasakan seolah semua orang menudingnya, simpanan, simpanan.
Bagi wanita yang hanya mau menyedot materi dari suaminya tentu ia tidak peduli dengan predikat wanita simpanan. Yang penting, materi mengalir cair.
Tapi bagi wanita yang selalu berusaha menghindari fitnah dan menjaga marwah, maka masuk akal sekali kalau statusnya sebagai istri harus diketahui oleh umum.
Nah, Steffy Burase termasuk golongan yang terakhir.
Bagi saya, tidak keberatan untuk mengulang pernikahan asal segala sesuatunya kondusif.
It takes two to the Tango. Saya bukan lelaki tipe pengecut yang akan lari dari tanggung jawab ketika menghadapi masalah.
S: Apa pandangan Anda tentang nikah syar’i dan nikah menurut negara?
IY: Yang membedakannya hanya konsekuensi hukum duniawi saja.
Artinya, bila ada sengketa antara suami istri yang menikah tidak tercatat pada KUA, negara tidak bisa campur tangan, misalnya hak pusaka, nasab anak, dan lain-lain.
Tetapi, bagi suami istri yang patuh kapada Allah dan rasul-Nya, hak dan kewajiban suami-istri itu sama saja bagi mereka, baik mereka menikah di KUA maupun menikah secara syar’i.
Hak-hak istri tidak dibedakan, hak anak tak dibedakan, hak faraid pun tak diingkari.
Dulu ayah ibu kita umumnya menikah secara syar’i.
Kalau di zaman kakek nenek saya hampir dapat dipastikan semuanya tidak ada yang nikah di KUA. Toh orang tua saya baik-baik saja kan? Tidak ada sengketa faraid.
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Soal Nikahi Steffy tak Perlu Lagi Ditanya