Berita Terkini Seruan Referendum Aceh, Tak Melanggar MoU Helsinki hingga Tudingan Manuver Politik
Seruan Referendum Aceh oleh Muzakir Manaf alias Mualem hangat diperbincangkan di media sosial mulai mendapat tanggapan dari berbagai pihak
Editor: Suut Amdani
Seruan Referendum Aceh oleh Muzakir Manaf alias Mualem hangat diperbincangkan di media sosial mulai mendapat tanggapan dari berbagai pihak
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA PA) Muzakir Manaf alias Mualem menginginkan dilaksanakannya referendum atau hak menentukan nasib sendiri di Aceh.
Isu yang dihembus mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersebut menuai komentar sejumlah tokoh.
Pantauan Serambinews.com di media sosial Twitter, Selasa (28/5/2019), kata Aceh mendadak menjadi trending topic, yang dipenuhi dengan pembahasan tentang referendum Aceh.
Baca: Wacana Referendum Aceh Usulan Mualem Merupakan Manuver Politik Temporer
Komentar para netizen juga beragam, ada yang mempertanyakan, mendukung, dan ada yang mengingatkan bahwa ini peringatan bagi Pemerintah.
Isu referendum ini awalnya mencuat dalam acara Haul Wali Nanggroe Paduka Yang Mulia Tgk Muhammad Hasan Ditiro yang dilaksanakan Partai Aceh, Senin (27/5/2019).
Dalam rekaman video yang banyak beredar, Mualem sapaan akrab Muzakir Manaf, mengatakan, bahwa keadilan dan demokrasi di Indonesia sudah tak jelas dan diambang kehancuran.
"Alhamudlillah, kita melihat saat ini, negara kita di Indonesia tak jelas soal keadilan dan demokrasi. Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja, itu sebabnya, maaf Pak Pangdam, ke depan Aceh kita minta referendum saja,” kata Mualem yang disambut tepuk tangan para peserta yang hadir.
“Karena, sesuai dengan Indonesia, tercatat ada bahasa, rakyat dan daerah (wilayah). Karena itu dengan kerendahan hati, dan supaya tercium juga ke Jakarta. Hasrat rakyat dan Bangsa Aceh untuk berdiri di atas kaki sendiri,” ujar Mualem lagi yang kembali disambut tepuk tangan lebih riuh.
Baca: Harga Tiket Selangit, Prianto Akali Terbang ke Malaysia Dulu Lalu ke Aceh
"Kita tahu bahwa Indonesia, beberapa saat lagi akan dijajah oleh asing, itu yang kita khawatirkan. Karena itu, Aceh lebih baik mengikuti Timor Timur, kenapa Aceh tidak,” ujar Mualem.
Pernyataan Mualem yang juga Ketua Badan Pemenang Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Aceh dan Dewan Penasihat BPN Prabowo-Sandi kemudian menjadi viral di media sosial.
Tak Melanggar MoU Helsinki
Senator Aceh, Fachrul Razi menilai wajar, Mualem Muzakir Manaf menyuarakan referendum untuk Aceh, karena kecewa melihat keadaan Aceh saat ini.
“Substansi perjanjian MoU Helsinki adalah demokrasi dan adil. Jika rakyat Aceh tidak merasakan keadilan dan demokrasi, wajar saja seorang mantan panglima GAM Muzakir Manaf sangat kecewa dengan keadaan sekarang,” tegas Fachrul Razi, di Jakarta, Rabu (29/5/2019).
Menurutnya pernyataan Muzakir Manaf menunjukkan kekecewaan berat terhadap kondisi Aceh saat ini yang jauh dari kemajuan dan keberhasilan.
Menurut Fachrul Razi, kunci perjanjian MoU Helsinki adalah “trust building," atau membangun kepercayaan antara para pihak yang bertikai, yakni GAM dan Pemerintah RI.
“Nah, jika salah satu pihak sudah mengalami kekurang-percayaan (distrust), ini menunjukkan bahwa muncul kekecewaan terhadap proses dan keadaan sekarang,” tegas Fachrul Razi yang terpilih kembali dalam Pemilu 2019 untuk kursi DPD RI dari Aceh.
“Nah kalau ada yang tanya apakah MoU Helsinki memberikan ruang adanya referendum, silahkan baca poin 6.1.c,” tegas Fachrul Razi memberikan solusi.
Baca: Sandiaga Uno: Harus Ada Referendum
Fachrul Razi mengatakan, banyak yang tidak bisa mengartikan poin tersebut.
Padahal dalam poin tersebut jelas tertulis:
“Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.”
Menurut Fachrul Razi, apabila salah satu pihak merasa dirugikan, atau mengalami kekecewaan karena adanya perselisihan dalam fase-fase tahun berjalan, para pihak dapat melaporkan dan menuntut solusi secara demokrasi.
“Dan perlu saya tegaskan, referendum merupakan mekanisme demokrasi secara damai sebagai hak konstitusional rakyat Aceh sebagai bagian dari NKRI,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa, referendum tertera dalam konvenan internasional, dan juga dalam UUD 1945 dan UU No 5 tahun 1985 tentang Referendum.
Meskipun sudah dicabut pada tanggal 23 Maret 1999 melalui lahirnya UU No 6 tahun 1999 namun itu hak asasi yang bersifat universal.
Baca: Semangat Optimisme Ekonomi, Sandiaga Uno Menyebutnya Referendum Ekonomi
Intinya menurut Fachrul Razi, MoU Helsinki merupakan solusi demokrasi bagi Aceh secara damai, dengan komitmen bahwa kedua belah pihak Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman tersebut.
“Jika salah satu tidak konsisten, mekanisme demokrasi lain dapat ditempuh,” tutupnya.
Dugaan Manuver Politik
Wacana referendum Aceh yang disampaikan oleh Muzakkir Manaf alias Maulem selaku Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) merupakan rangkaian dari sebuah manuver politik temporer dan hanya sebatas imbas dari sebuah akumulasi politik akibat kontestasi Pilpres antara Prabowo dan Jokowi.
“Sebagai pihak pendukung penuh capres Prabowo Subianto, posisi Mualem mewacanakan referendum Aceh dapat dianggap sebagai sebuah skenario untuk menggiring pecahan konflik di Jakarta ke Aceh dengan isu dan wacana referendum,” kata Ketua GeMPAR Aceh, Auzir Fahlevi SH kepada Serambinews.com, Selasa (28/5/2019).
Auzir menyampaikan pendapat itu menanggapi pernyataan Mualem yang melontarkan wacana referendum untuk memisahkan diri dari Indonesia karena dianggap negara ini sudah diambang kehancuran.
Mualem menginginkan Aceh mengikuti jejak Timor Leste.
Baca: Indonesia, Timor Leste dan ADB Teken MoU Kerja Sama Lintas Batas
Mualem menyampaikan itu saat memperingati Haul Wali Nanggroe, Almarhum Tgk Muhammad Hasan Ditiro ke-9 (3 Juni 2010-3 Juni 2019) sekaligus buka puasa bersama di Amel Convention Hall pada Senin (27/5/2019) malam.
Kegiatan itu diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA-PA) dan Komite Peralihan Aceh (KPA).
Menyikapi pernyataan Mualem tersebut, Auzir kemudian menantang Mualem untuk menyuarakan saja tuntutan kemerdekaan secara langsung.
“Kalau Mualem gentle, kenapa tidak menyuarakan saja tuntutan kemerdekaan secara langsung saja, kenapa harus ada embel-embel referendum?” ujar dia.
Sebagai bekas Panglima GAM, kata Auzir, seharusnya Mualem menyadari bahwa GAM dalam penandatanganan MoU Helsinki dengan Pemerintah RI sudah jelas memberikan pengakuan sekaligus berkomitmen kembali dalam bingkai NKRI atas penyelesaian Konflik Aceh.
Komitmen kedua belah pihak ini tercantum jelas dalam Pembukaan MoU Helsinki yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 silam.
Dia berharap Mualem tidak reaksioner dalam merespon dinamika politik yang terjadi di Jakarta akibat dampak Pilpres.
Baca: Petisi Referendum Papua Dibawa ke PBB, DPR: Kami Sikapi secara Serius
“Jika Mualem jeli, sebenarnya wacana referendum bisa saja dilakukan sebagai move politik untuk menekan pemerintah pusat terhadap berbagai persoalan Aceh yang belum selesai sesuai MoU Helsinki dan UUPA, misalnya soal pembagian bagi hasil Migas 70-30 atau soal Lambang dan Bendera Aceh yang masih terkatung-katung,” ungkapnya.
Ketua GeMPAR Aceh ini meminta Mualem untuk fokus saja pada isu kesejahteraan rakyat Aceh dan hal substantif lainnya yang belum tercapai berdasarkan MoU Helsinki dan UUPA.
“Kalau persoalan Aceh diulur-ulur penyelesaiannya oleh pemerintah Jakarta dan Mualem mengambil sikap politik, jangankan untuk referendum, tuntut merdeka langsung pun kita dukung,” pungkasnya.(*)
(Serambinews.com/Masrizal Bin Zairi/Fikar W Eda/Yocerizal)
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul GeMPAR Aceh Nilai Wacana Referendum Mualem Sebagai Manuver Politik Temporer, dan Senator Aceh Fachrul Razi: Referendum tak Bertentangan dengan MoU Helsinki