Cerita Mbah Sarni, Nenek Berusia 101 Tahun yang Tetap Berkarya Membuat Gerabah
Mbah Sarni adalah seorang pembuat gerabah. Dan pekerjaan ini telah dijalaninya sejak zaman perang kemerdekan.
Editor: Hendra Gunawan
Saat ini, Sarni dibantu anak bungsunya Karniem (65) masih tetap setia mengayuh perbot (meja berputar untuk membentuk tanah liat) untuk membuat cobek.
“Bisanya bikin gerabah dari kecil, tidak bisa bertani. Kalau masak ya nempur (beli beras),” terangnya.
Pembuat Gerabah Berusia Tua
Sementara itu, Karniem, anak kandung Mbah Sarni yang juga membuat gerabah bercerita jika saat ini tidak ada yang anak muda minat untuk bekerja membuat gerabah.
Hal tersebut berbeda saat masa ibu dan neneknya.
Di desanya, pembuat gerabah hanyalah perempuan yang berusia tua.
Bahkan dari delapan bersaudara, hanya dia yang mengikuti jejak ibunya membuat gerabah.
“Saudara yang lain berpencar mengikuti suami mereka. Kalau warga sini kebanyakan memilih mencari kerja di luar negeri karena duitnya banyak. Yang masih kerja kaya gini ya tinggal perempuan tua,” ujarnya.
Saat ini penghasilan membuat gerabah tidak banyak, karena masyarakat banyak yang beralih menggunakan peralatan alumunium dan listrik.
Gerabah yang laku djual hanya cobek, itu pun ditingkat pengepul hanya dibeli Rp 1.000 per buah.
"Kalau sudah dibakar, satu biji cobek ini diterima pengepul seharga seribu rupiah,” imbuhnya.
Jika masuk musim kemarau seperti saat ini, ia dan ibunya bisa membuat 200 cobek dalam waktu tiga hari.
Berbeda saat musim hujan, untuk 200 cobek mereka membutuhkan waktu lebih lama, yakni sekitar 2 minggu.
"Kalau musim hujan nunggu dua minggu agar terkumpul banyak cobek yang kering baru dibakar. Kalau sekali membakar bisa 500 buah,” ujarnya.
Karniem mengaku pernah diberi pelatihan oleh pemerintah daerah untuk membuat gerabah, seperti kendi dan bermacam bentuk gerabah lainnya.