Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cerita Mbah Sarni, Nenek Berusia 101 Tahun yang Tetap Berkarya Membuat Gerabah

Mbah Sarni adalah seorang pembuat gerabah. Dan pekerjaan ini telah dijalaninya sejak zaman perang kemerdekan.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Cerita Mbah Sarni, Nenek Berusia 101 Tahun yang Tetap Berkarya Membuat Gerabah
Kompas.com/Sukoco
Nenek Sarni, membuat gerabah merupakan pekerjaan dari mbah buyutnya dahulu. Pekerjaan mebuat gerabah sudah diturunkan 7 turunan. 

TRIBUNNEWS.COM, MAGETAN - Meski usianya telah menginjak 101 tahun, Mbah Sarni, warga Desa Ngunut, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, tetap giat beraktivitas.

Mbah Sarni adalah seorang pembuat gerabah.

Dan pekerjaan ini telah dijalaninya sejak zaman perang kemerdekan.

“Sudah dari mbahnya simbah dulu kami membuat gerabah. Saya selesai sekolah SR sudah membuat gerabah.

Sekarang anak saya yang melanjutkan, karena inilah pekerjaan kami,” ujarnya, Minggu (30/6/2019).

Mbah Sarni masih gesit mengayuh meja kecil berputar di depannya yang berisi adonan tanah liat berwarna hitam pekat.

Tangannya yang sudah keriput dan menua, juga cekatan mencelupkan lap basah untuk membentuk tanah liat di tengah meja bulat yang terus berputar.

Berita Rekomendasi

Ia menuturkan, dulu membuat gerabah adalah pekerjaan bergengsi, karena semua peralatan memasak di dapur menggunakan gerabah, mulai dari tungku hingga wajan.

Baca: MotoGP Belanda 2019 - Rangkuman Komentar 3 Pembalap Peraih Podium

Baca: Faktor-Faktor Kekalahan Persib di Kandang Sendiri Meski Memainkan Skuat Terbaik

Baca: Pendaftaran LPDP 2019 Tahap 2 Hari Ini di beasiswalpdp.kemenkeu.go.id, Apa Syarat-syaratnya?

Baca: Djanur Ragu Mainkan Dua Pemain Andalan Persebaya Lawan Persela Lamongan

"Dulu buat dandang, kuali, kendil, wajan, anglo, semua kami bikin. Tapi sekarang hanya bikin cobek karena hanya itu yang laku,” imbuhnya.

Sambil bercerita, tangan kiri Mbah Sarni merapikan bentuk cobek dengan sebuah plastik pipih sehingga permukaan cobek lebih licin.

Selain membuat gerabah, Sarni juga mengaku menjual sendiri gerabah hasil karyanya berkeliling desa hingga kota tetangga dengan menggunakan sepeda onthel.

Bahkan untuk berjualan keliling, Sarni mengaku harus menginap dari kampung ke kampung.

"Dulu keliling pakai sepeda onthel dari kampung ke kampung.Ke Pasar Magetan ke Pasar Plaosan. Kalau jualan bisa empat hari sampai susunan gerabah di sepeda habis. Disusun tinggi itu gerabah di belakang sepeda,” ucapnya.

Meski telah menikah memiliki delapan anak, Sarni tetap setia menekuni pembuatan gerabah bahkan hingga semua anaknya menikah.

Saat ini, Sarni dibantu anak bungsunya Karniem (65) masih tetap setia mengayuh perbot (meja berputar untuk membentuk tanah liat) untuk membuat cobek.

“Bisanya bikin gerabah dari kecil, tidak bisa bertani. Kalau masak ya nempur (beli beras),” terangnya.

Pembuat Gerabah Berusia Tua

Sementara itu, Karniem, anak kandung Mbah Sarni yang juga membuat gerabah bercerita jika saat ini tidak ada yang anak muda minat untuk bekerja membuat gerabah.

Hal tersebut berbeda saat masa ibu dan neneknya.

Di desanya, pembuat gerabah hanyalah perempuan yang berusia tua.

Bahkan dari delapan bersaudara, hanya dia yang mengikuti jejak ibunya membuat gerabah.

“Saudara yang lain berpencar mengikuti suami mereka. Kalau warga sini kebanyakan memilih mencari kerja di luar negeri karena duitnya banyak. Yang masih kerja kaya gini ya tinggal perempuan tua,” ujarnya.

Saat ini penghasilan membuat gerabah tidak banyak, karena masyarakat banyak yang beralih menggunakan peralatan alumunium dan listrik.

Gerabah yang laku djual hanya cobek, itu pun ditingkat pengepul hanya dibeli Rp 1.000 per buah.

"Kalau sudah dibakar, satu biji cobek ini diterima pengepul seharga seribu rupiah,” imbuhnya.

Jika masuk musim kemarau seperti saat ini, ia dan ibunya bisa membuat 200 cobek dalam waktu tiga hari.
Berbeda saat musim hujan, untuk 200 cobek mereka membutuhkan waktu lebih lama, yakni sekitar 2 minggu.

"Kalau musim hujan nunggu dua minggu agar terkumpul banyak cobek yang kering baru dibakar. Kalau sekali membakar bisa 500 buah,” ujarnya.

Karniem mengaku pernah diberi pelatihan oleh pemerintah daerah untuk membuat gerabah, seperti kendi dan bermacam bentuk gerabah lainnya.

Namun rumitnya pembuatan dan tidak adanya alat yang memadai membuat dia dan ibunya kembali membuat cobek.

"Butuh sudut-sudut gitu buat kendi, ribet masih kalah dengan daerah lain. Lagi-lagi yang laku ya hanya cobek kalau disini,” katanya.

Tetap Bertahan Meski Dihargai Rp 1.000 Per Cobek

Karniem mengaku akan tetap bertahan membuat cobek meskipun satu buah dihargai Rp 1.000.

Selain karena tidak memiliki keahlian lain, Karniem mengaku punya tanggungan hutang kepada pengepul gerabah.

Dia merasa hutangnya kepada pengepul tak akan pernah habis karena untuk biaya membeli tanah liat dan membakar gerabah mereka harus kembali berhutang.

"Pasarannya ada yang Rp 1.500, kalau saya punya hanya dihargai Rp 1.000 karena kita ngutang dulu buat beli tanah, bakar cobek, dan buat belanja harian,” imbuhnya.

Saat ini dia mengaku cobek buatannya harus bersaing dengan cobek yang dibuat menggunakan mesin.

Minimnya modal bahkan membuat Karniem tidak bisa menyewa alat penggilingan tanah liat sehingga dia harus mengerjakan semuanya secara manual.

Setiap hari dia harus menginjak injak dan meremas tanah lempung.

Sebelumnya, tanah lempung tersebut dijemur hingga kering kemudian direndam semalaman dengan air.

“Terpaksa diulenin sendiri pake tangan karena tidak ada uang untuk sewa molen,” ucanya.

Meski berusia lebih dari seabad, Mbah Sarni mengaku akan terus membuat gerabah selagi masih mampu.

Baginya membuat gerabah adalah pengabdian hidup agar bisa berguna bagi orang lain.

"Dari dulu sampai sekarang gerabah akan tetap dibutuhkan, meski tak seramai dulu. Saya tetap akan tetap membuat gerabah,” pungkasnya sambil tersenyum. (Sukoco)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul : Kisah Nenek Berusia 101 Tahun yang Setia Membuat Gerabah walau Dihargai Rp 1.000 Per Buah

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas