Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Guru Honorer di Pedalaman Flores, Gaji 85.000, Jalan Kaki 6 Km, Tanpa Listrik dan Telepon

para guru honorer di pedalaman Flores ini mengabdi dengan upah kecil hanya Rp 85.000 per bulan.

Editor: Sugiyarto
zoom-in Kisah Guru Honorer di Pedalaman Flores, Gaji 85.000, Jalan Kaki 6 Km, Tanpa Listrik dan Telepon
(kompas.com/Nansianus Taris)
Foto : Ibu Maria Beta Nona Vin, salah seorang guru honor di SMPN 3 Waigete, saat diwawancara di gubuknya, tepat di Desa Watu Diran, Kabupaten Sikka, Flores NTT, Senin (8/7/2019). 

TRIBUNNEWS.COM, MAUMERE - Anggaran 20 persen dari APBN untuk pendidikan ternyata juga belum banyak merubah wajah dan nasib para pendidik.

Masih banyak cerita-cerita miris di dunia pendidikan yang datang dari berbagai daerah. Baik kondisi fisik bangunan sarana pendidikan maupun nasib pendidiknya.

Seperti yang dialami sejumlah guru honorer di SMPN 3 Waigete, Kabupaten Sikka, Flores, NTT ini, sungguh memilukan hati.

Betapa tidak, para guru honorer di pedalaman Flores ini mengabdi dengan upah kecil hanya Rp 85.000 per bulan.

Lebih memilukan lagi, ada dari mereka yang hidup tanpa penerangan listrik dan jaringan telepon. Maria Beta Nona Vin merupakan salah satunya.

Guru honorer SMPN 3 Waigete yang mengajar sejak 2017 itu hingga saat ini bergaji Rp 85.000 per bulan.

"Itu uang Rp 85.000 juga kadang-kadang mandek sampai 3 bulan. Itu uang kan dari orangtua siswa. Jadi, kita tunggu kapan mereka bayar baru kita terima honor," ujar guru yang biasa disapa Beti itu, kepada Kompas.com, di tempat tinggalnya, Senin (8/7/2019).

BERITA TERKAIT

Ia melanjutkan, di kala honor mandek, dirinya mengandalkan ubi dari kebun yang dirawat setiap pulang sekolah.

"Saya kalau pulang sekolah, urus kebun tanam ubi. Sehingga pas belum ada uang untuk beli beras, ya kita makan ubi saja dulu," ungkap Beti.

Ia mengungkapkan, meski kondisi rumah yang ia tempatI memprihatinkan, dirinya tetap betah demi mengabdi di SMPN 3 Waigete, Kabupaten Sikka.

"Bisa lihat sendiri kan sekarang. Beginilah kondisi rumah saya. Tapi saya tetap bertahan di sini untuk mengabdi dan mencerdaskan anak-anak bangsa," ungkap dia.

Jarak dari rumah ke sekolah yang harus ditempuh Beti sejauh 3 kilometer. Dari rumah, ia harus berjalan kaki dan membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai di sekolah.

"Jadinya tiap hari pergi pulang jalan kaki 6 kilometer. Cape sebenarnya, tetapi berpikir, pasti ada hikmah di balik perjuangan ini," tambah dia. Hidup tanpa listrik dan jaringan telepon

.
Foto : Ibu Maria Beta Nona Vin, salah seorang guru honor di SMPN 3 Waigete, saat diwawancara di gubuknya, tepat di Desa Watu Diran, Kabupaten Sikka, Flores NTT, Senin (8/7/2019). (Nansianus Taris) 

Sejak mengabdi di SMPN 3 Waigete, Kabupaten Sikka, selain gaji kecil, kondisi menyedihkan lainnya yang dihadapi yakni hidup tanpa penerangan listrik dan jaringan telepon.

Warga di sekitar tempat yang ia tinggal memang masih mengandalkan lampu pelita untuk penerangan di malam hari.

Sebagian lainnya menggunakan lampu tenaga surya dan generator. 

"Di rumah kami pakai lampu pelita. Kalau malam kerja perangkat pembelajaran, kami andalkan lampu pelita saja."

"Susah sekali sebenarnya, tetapi karena sudah terbiasa, jadinya nyaman juga. Untuk yang punya hanphone itu harus pergi cas di orang yang ada mesin generator," tutur Beti.

Kesulitan lain yang dirasakan yakni hidup tanpa akses jaringan telepon.

"Paling sedih ini, kami di sini sudah bertahun-tahun tidak pernah masuk jaringan telepon. Kami sangat terisolasi."

"Untuk tanya kabar keluarga susah sekali. Kami juga sulit sekali mendapatkan segala informasi dari dinas. Kadang ada informasi dari dinas, kami harus ke kota kecamatan atau kabupaten," sebut Beti.

"Di sekitar sini, ada tempat sinyal, hanya orang harus jalan kaki sejauh 3 kilometer lagi," sambung dia.

Ia berharap, ke depan pemerintah bisa menyambung jaringan listrik dan telepon ke Desa Watu Diran, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, alamat SMPN 3 Waigete.

Pantauan Kompas.com, Beti tinggal di rumah yang sangat sederhana, beratapkan alang-alang, dinding belahan bambu, dan lantai tanah.

Kamar istirahatnya juga sangat sederhana. Hanya beralaskan tikar di atas belahan bambu. Pakaiyan digantung tanpa lemari. Begitu pula dengan buku-buku.

Alat masak ibu Beti juga masih menggunakan tungku tradisonal dari batu. Untuk memasak, ia menggunakan kayu api yang didapatkan dari kebun.

Ibu Beti juga terkadang menumbuk padi untuk menjadi beras. Di tempat itu memang tidak ada penggiling padi.

Di tengah keterbatasan uang dan fasilitas, serta tidak adanya saluran informasi, Beti tetap bertahan untuk mengabdi di SMPN 3 Waigete, Desa Watu Diran, Kecamatan Waigete, Kabupaten, Sikka, Flores.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Guru Honorer di Pedalaman Flores, Gaji 85.000, Hidup Tanpa Listrik dan Jaringan Telepon", https://regional.kompas.com/read/2019/07/09/14501891/cerita-guru-honorer-di-pedalaman-flores-gaji-85000-hidup-tanpa-listrik-dan?page=all.

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas