Duta Damai Goes to School Diikuti 160 Pelajar SMA dan Sederajat Kota Manado
Generasi muda adalah target utama penyebaran radikalisme dan terorisme. Karena itu, generasi muda harus dilindungi dari serangan ideologi
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Duta Damai Dunia Maya bentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Pusat Media Damai (PMD) terus bergerak membangun jaringan dan kekuatan untuk membuat kontra narasi dalam menghadapi penyebaran radikalisme dan terorisme, khususnya di dunia maya.
Salah satu program Duta Damai Dunia Maya adalah Duta Damai Goes to School. Program ini menyasar anak muda dari kalangan pelajar dengan memberi pengetahuan dan pemahaman tentang penyebaran radikalisme dan terorisme. Tujuannya untuk mencegah dan memberikan imunitas agar mereka tidak terpapar paham negatif tersebut, terutama melalui aktivitas di dunia maya.
“Hari ini adik-adik pelajar SMA ini kita lakukan imunisasi, tanpa harus disuntik. Ini imunisasi secara spiritual. Ada yang bisa dilakukan dengan narasi dunia maya atau dengan offline seperti Goes to School ini,” ungkap Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Ir. Hamli, ME, saat membuka Duta Damai Goes to School di Manado, Sabtu (27/7/2019).
Hamli berharap, setelah mengikuti program ini, para pelajar ini juga bisa melakukan imunisasi terhadap kawannya dan keluarganya, baik melalui dunia maya maupun nyata.
Duta Damai Goes to School diikuti 160 pelajar SMA dan sederajat kota Manado dan dilaksanakan oleh Duta Damai Dunia Maya Sulut. Tidak hanya memberikan imunisasi radikalisme dan terorisme, kegiatan ini juga menggelar lomba video pendek 1 menit.
Pada kesempatan itu, Hamli banyak memberikan pemahaman tentang apa itu terorisme. Ia menjelaskan bahwa di dunia ada dua kelompok organsiasi teroris besar yaitu Alqaeda dan ISIS. Proses terjadinya kedua kelompok itu berbeda, pun masanya juga berbeda.
Alqaeda berdiri di tengah isu perang dingin, komunisme dan kapitalisme, sementara ISIS memanfaatkan demokratisasi di Timur Tengah yang disebut Arab Spring.
ISIS ini, lanjut Hamli, isunya beda dengan Alqaeda. Isu pertama adanya perang akhir jaman, sehingga banyak orang di seluruh dunia datang ke Irak dan Suriah. Juga isu ingin mencari negara syariat.
“Yang harus digarisbahwai, ketika isu itu masuk di dunia maya, itu harus dicegah dan dilakuakn kontra narasi agar orang tidak termakan isu tersebut. Sekali lagi teman-teman harus memahaami ini baik global maupn internasional,” jelas Hamli.
Biasanya, ungkap Hamli, kelompok teror itu menyebarkan ideologi dengan ditambah hoaks (berita bohong). Contohnya Suriah.
Negara yang dulu dikenal indah dan makmur itu, kini hancur lebur karena hoaks yang dibuat ISIS tentang kebiadaban Presiden Bashar Al-Asaad terhadap orang Sunni yang sedang berdemo. Dalam demo itu ada korban 1-2 orang, tapi dalam foto yang diangkat ke permukaan adalah pembunuhan massal, dimana fotonya adalan korban perang Irak-Irak.
“Ketika orang melihat banyak orang mati pasti menimbulkan kakhawatiran, dendam, sakit hati. Hoaks semacam itu selalau ditimbulkan orang-orang itu,” tutur Hamli.
Hamli mengungkapkan orang menjadi teroris itu tidak ujug-ujug (tiba-tiba). Biasanya orang menjadi teroris itu diawali dengan intoleransi.
Itu biasanya ditandai perubahan sikap seseorang seperti tidak mau NKRI, anti Pancasila, mengkafirkan orang. Dari situ tinggal tunggu saja mereka naik kelas untuk melakukan teror.
“Ketika ada orang seperti itu, tolong tanyain, kalau alasannya agama, carikan pemuka agama dia, untuk menjelaskan,” tukas Hamli.
Hamli juga meminta duta damai dan para pelajar harus membekali diri dengan memperkuat pengetahuan dan intelektual. Itu akan menjadi modal agar bisa menyebarkan kontra narasi dan konten damai di dunia maya.
Selain Direktur Pencegahan BNPT, Duta Damai Goes to School 2019 juga menghadirkan narasumber Nursadrina Dhania. Ia adalah orang Indonesia yang pernah terkena bujuk rayu ISIS sehingga berhasil merayu keluarganya untuk pindah ke Suriah demi untuk hidup di negeri dengan Syariat Islam.
“Tapi apa yang saya dan keluarga dapat, semua janji ISIS itu bohong belaka. Kami bahkan menderita dan melihat kekejaman dan kebiadaban ISIS. Beruntung saya dan keluarga berhasil keluar dari sana. Saya berterima kasih kepada pemerintah Indonesia sehingga kami akhirnya bisa pulang ke Indonesia, meski harus membayar mahal keputusan kami pergi ke Suriah,” papar Dhania.
Dhania terpapar ideologi ISIS melalui media sosial saat masih kelas 2 SMA. Padahal secara sosial ekonomi, keluarganya tergolong mampu. Bahkan sang ayah, Joko Wiwoho adalah pejabat di Otorita Batam.
“Jangan sampai kawan-kawan muda termakan propaganda ISIS di media sosial seperti saya. Lebih baik kalau tidak tahu, bertanya kepada yang lebih tahu, juga harus bisa melakukan saring sebelum sharing konten-konten di media sosial,” kata Dhania.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.