Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Belajar Malam Gelap-gelapan, Esok Harinya ke Sekolah Naik Gunung Turun Lembah

Lampu sengaja hanya dihidupkan tiga unit saja, dan menyala mulai jam enam sore hingga pagi hari

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Belajar Malam Gelap-gelapan, Esok Harinya ke Sekolah Naik Gunung Turun Lembah
TRIBUN MEDAN/ARJUNA BAKKARA
Seorang siswi kelas lima SD, Delima Samosir (14) bersama adik laki-lakinya Adrianto Samosir belajar hanya dengan penerangan lampu teplok yang minim cahaya, di Desa Siambaton Pahae, Dusun Sihapesong, Kecamatan Pakkat Humbang Hasundutan, Jumat (9/8/2019) Malam lalu. Asap hitamlampu minyak menyambar-nyambar wajah mereka yang tengah mengerjakan PR Bahasa Indonesia dari guru mereka di SD N 176330 Parajaran. 

Kondisi Warga Desa Sihapesong yang tidak memperoleh haknya sebagai warga negara juga membuat hati Nahot Simbolon ‘teriris’. Apalagi, di Desa itu sudah masuk listrik pada tahun 1998, namun Desa Sihapesong tidak ikut menikmati listrik.“Tahun 98, listrik sudah mask ke sekitar ini tapi mereka tidak ikut kebagian jatah,Saya berharap, Pemerintah dapat memperhatikan Dusun saya Sihapesong yang belum teraliri listrik.”harapnya.

Tidak hanya di Dusun Sihapesong, kejadian serupa juga ditemui Tribun di Kecamatan tetangga. Program pembangunan dari desa yang digadang-gadang pemerintah masih sekedar harapan bagi sebagian penduduk seperti di Desa Sinambadia Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan ini.

Fakta membuktikan, sejumlah warga masih banyak yang belum menikmati listrik dan jalan pedesaan. Padahal, Indonesia sebentar lagi akan merayakan Hari Ulang Tahun kemerdakaan ke-74 tahun. Sementara kabupaten ini merupakan daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang sangat kaya. Namun, keberpihakan pemerintah pada daerah-daerah pinggiran sama sekali tidak ada.




Soan Hasugian warga Dusun Sihotang Hasugian Tonga di Dusun Sinambadia Sitataring, Parlilitan Humbang Hasundutan mengaku iri melihat desa-desa tetangga yang mendapat penerangan cahaya lampu listrik. “Memang itulah yang sangat kami rirndukan. Dimana kami sangat tertinggal dibandingkan dengan desa-desa yang lain. Listrik enggak ada, jalan enggak ada coba bayangkan pak,”sebut pria yang lama berharap hingga ubanan ini agar listrik masuk di kampungnya.

Selain penerangan yang belum ada, kalau ke Pasar mereka harus naik turun gunung sejauh kurang lebih lima Km dari Sinambadia ke Pusat Kota Parlilitan untuk berbelanja. Aanak-anak mereka setiap pagi dan siangnya mau tak mau harus berjalan kaki melewati lembah dan bukit-bukit yang curam. Jalan juga berlumpur.

Pergi pagi lebih awal sekitar Pukul 6 WIB dan pulang lebih sore sudah menjadi pemandangan biasa bagi warga sekitar melihat anak-anak sekolah dari Desa Sinambadia. Kalaupun ada yang pulang lelbih dulu, seperti anak SD siswa-siswa asal Sinambadia pergi dan pulang secara bergerombol melintasi hutan agar tidak merasa kesepian sepanjang jalan.

Selain anak-anak sekolah, terlebih orang tua yang tak kuat lagi tenaganya kata Soan berjam-jam lamanya pulang pergi ke Parlilitan.

BERITA TERKAIT

“Sangat-sangat menyedihkan kami rasa soal ini. Tolonglah bapak-bapak pemerintah memikirkan kami di Nambadia ini. Sangat tertinggal menurut aku,”Keluh kakek yang sehari-hari bertani bersama istrinya ini.

Baca: Kegiatan Merry di Kampung Halaman Setelah Mundur Jadi Asisten Raffi Ahmad dan Nagita Slavina

Sama seperti Warga Desa Sihapesong, kalau malam mereka menggunakan lampu teplok untuk menerangi rumahnya. Bahan bakar yang mereka gunakan minyak solar, alasannya minyak tanah sulit diperoleh dan harganya pun lebih murah.

Amatan Tribun, lampu teplok yang mereka pakai sehari hari ditempelkan di dinding agar dapat menerangi rumahnya dengan rata. Menggunakan minyak solar, asap lampu teplok pun lebih hitam dibanding minya tanah.

Sehari-hari, Soan dan warga lainnya bercocok tanam padi, karet, salak, pisang, ubi kayu dan tanaman mudah lainnnya. Diakuinya, hasil pertanian dari Sinambadia cukup bagus karena memang tanahnya subur dan hasil bumi dari daerah itu terus melimpah.

Sayangnya, hasil bumi banyak sia-sia dan tidak terjual. Persoalannya, tidak ada akses yang baik untuk dilalui memasarkan hasil bumi. Apalagi jarak dari Sinambadia dianggap terlalu jauh ditempuh berjalan kaki. Belum lagi jalannya yang curam dan kadang menanjak, petani hanya bisa memikul hasil tanammnya semampu mereka saja.

“Aapalagi kami sudah tua, bagaimanalah cara kami memikul tanaman kami ke Parlilitan dan bagaimanalah kami hidup begini. Kalau seandainya ada kendaraan dan aksesnya, mungkin pisang itu pun bisa laku kamu jual. Saya menyerahkan diri sajalah, bagaimana agar tuhan membuka hati dan pikiran pemerintah”Tambahnya lagi.

Menjelang Hari Ukang Tahun RI Ke-74 ini dia berharap, Warga Sinambadia ikut merasakan nikmatnya menjadi rakyat yang merdeka. “Kaalau saya bilang nanti tidak merdeka, mungkin saya salah nanti kepada negara. Tetapi, belum merasakannya gimana kemerdakaan itu dan inilah keadaannya”jelasnya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Medan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas