Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Belajar Malam Gelap-gelapan, Esok Harinya ke Sekolah Naik Gunung Turun Lembah

Lampu sengaja hanya dihidupkan tiga unit saja, dan menyala mulai jam enam sore hingga pagi hari

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Belajar Malam Gelap-gelapan, Esok Harinya ke Sekolah Naik Gunung Turun Lembah
TRIBUN MEDAN/ARJUNA BAKKARA
Seorang siswi kelas lima SD, Delima Samosir (14) bersama adik laki-lakinya Adrianto Samosir belajar hanya dengan penerangan lampu teplok yang minim cahaya, di Desa Siambaton Pahae, Dusun Sihapesong, Kecamatan Pakkat Humbang Hasundutan, Jumat (9/8/2019) Malam lalu. Asap hitamlampu minyak menyambar-nyambar wajah mereka yang tengah mengerjakan PR Bahasa Indonesia dari guru mereka di SD N 176330 Parajaran. 

Laporan Wartawan Tribun Medan, Arjuna Bakkara

TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Berkunjung ke sejumlah Desa di Kabupaten Humbang Hasundutan, Tribun Medan disambut fenomena kesenjangan pembangunan. Lina Simamora (56), penduduk Desa Siambaton Pahae, Dusun Sihapesong, Kecamatan Pakkat Humbang Hasundutan mengaku remuk hati tinggal di desanya, Senin (12/8/2019).

Kehidupan Penduduk yang jauh dari arus listrik dan infrastruktur jalan, kontras dengan gemerlap kota. Melewati malam tanpa lampu penerangan arus listrik tak pernah ia nikmati sejak merdeka sampai dirinya menua.

“Aku udah lama di sini, lampu enggak pernah masuk. Malam kami pun begini, gimanalah di bilang, belum pernah masuk penerangan ke kami. Sedihlah pak, kami di sini terus-terus gelap apalagilah di sini gelap anak-anak mau belajar, lampu enggak ada. Pakai lampu teplok, asapnya itu sampai ke hidung, rumah pun jadi jorok menghitam,”jelasnya.

Karenanya, dia berharap desa mereka diperhatikan pemerintah, agar anak-anak mereka dapat belajar dengan baik pada malam harinya. “Kami mohon ke pemerintah, diperhatikanlah kampung kami ini,”tambahnya.

Sehari-hari memakai lampu minyak, pun mereka harus mengirit.

Lampu sengaja hanya dihidupkan tiga unit saja, dan menyala mulai jam enam sore hingga pagi hari. Lampu teplok diletakkan di dapur, di tengah dan kadang-kadang disediakan untuk menerangi jalan bila ingin pergi ke luar rumah.

Berita Rekomendasi

Bahan bakar lampu teplok yang dipakai menerangi rumahnya malam hari, pun sulit didapatkan. Selain harga yang dianggap mahal, juga jauh untuk membelinya ke perkotaan. Kalau kehabisan stok minyak, Lina pun terpaksa hanya menghidupkan api dengan membakar kayu di tunggku yang berada di dapur rumahnya agar terang dari gelapnya malam.

“Harus ke sanalah dibeli, ke Parajaran nama kampungnya. Itu pun malah dicari, kadang-kadang enggak ada dijual,”terangnya.

Baca: Penerbangan di Bandara Hong Kong Dibatalkan, Ini Imbauan untuk Traveler

Seorang siswi klas lima SD malam itu, Delima Samosir (14) bersama adik laki-lakinya Adrianto Samosir belajar hanya dengan penerangan lampu teplok yang minim cahaya. Asap hitam menyambar-nyambar wajah mereka yang tengah mengerjakan PR Bahasa Indonesia dari guru mereka di SD N 176330 Parajaran, Kecamatan Pakkat Kabupaten Humbang Hasundutan.

Menurut Delima belajar di bawah penerangan lampu teplok tidak maksimal bahkan mengakibatkan matanya terkadang pedih akibat asap. Asap hitam itu juga tak sengaja terkadang harus terhirup mereka saat belajar. “Sulit, karena cahanya gelap. Mata kadang sakit karena gelap, pedih lagi karena asapnya,”tuturnya.

Anak pertama dari Amman Samosir dan Nurmina Sitohang ini masih menaruh harapan, kiranya desa tempat dia tinggal bisa dialiri listrik. “Maunya listrik masuk ke desa kami, tiap malam kami belajar gelap-gelapan,”Ujar Delima yang sesekali diganggui adiknya paling bungsu Dormasi Samosir berusia lima tahun yang tidak mau tidur.

Desa yang didiami Delima dulunya ramai, namun saat ini rumah-rumah mulai kosong, sebagian satu-persatu eksodus ke kota. Rumah ada yang tinggal puing, papan membusuk ditumbuhi semak. Sebagian mulai rubuh akibat lapuk karena bertahun-tahun dijerang matahari serta diterjang hujan dan tak lagi dirawat pemiliknya.

Kepala Desa Siambaton Pahae Dusun Sihapesong, Nahot Simbolon mengakui beberapa tahun lalu desa tersbut didiami 50 Kepala Keluarga (KK). “Tapi, karena tidak dialiri listrik penduduk desa pindah ke kota, Kasihan mereka, hanya untuk mengejar listrik saja pindah,”Tuturnya.

Minimnya Penduduk saat ini, kata Nahot menjadi alasan bagi petinggi petugas Listrik Negara (PLN) untuk tidak memasang instalasi listrik ke Desa Sihapesong. Minimal. 7 kepala keluarga harus ada agar arus listrik PLN dimasukkan. Padahal, saat ini masih ada sekitar 10 KK yang mendiami Desa Sihapesong, juga sebelumnya banyak warga yang bermukim di sana.

Baca: Hati Gisel Bergetar Lihat Reaksi Gempi saat Akan Ditinggal Pergi ke Medan

Halaman
1234
Sumber: Tribun Medan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas