Kesaksian Para Perantau, Pelaku Kerusuhan di Wamena Bukan Warga Setempat, Mereka Muncul dari Gunung
Kerusuhan di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya pada Senin (23/9/2019) lalu masih menyisakan trauma dan duka bagi warga. Setidaknya 32 korban jiwa
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kerusuhan di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya pada Senin (23/9/2019) lalu masih menyisakan trauma dan duka bagi warga. Setidaknya 32 korban jiwa terenggut.
Jefri Tanjung (60), perantau asal Minang, yang tinggal di Wamena sejak tahun 2.000-an mengatakan kelompok perusuh yang menyerang bukan warga asli Wamena yang selama ini dikenal.
"Bukan warga yang kita kenal. Mereka (perusuh) turun dari lembah bawa senjata. Bawa panah, molotov, ketapel, paling banyak bawa batu. Langsung menyerbu, mendadak," kata Jefri di Lanud Halim Perdanakusuma, Kamis (3/10/2019).
Baca: Pengungsi: Saya Lihat Pelaku Kerusuhan Wamena Tua-tua dan Berjenggot, Mana Ada Mahasiswa Begitu?
Baca: Wamena Mulai Kondusif, Dokter Takut Bertugas, Sejumlah Puskesmas Masih Tutup
Cepatnya penyerangan yang dilakukan kelompok perusuh membuat dia dan keluarganya tak dapat menyelamatkan harta bendanya.
Pria yang berprofesi jadi pedagang di Wamena itu memilih menyelamatkan nyawa keluarganya dibanding harta yang selama ini dia kumpulkan.
"Ketika kejadian saya hanya bilang dua kata ke keluarga saya 'selamatkan nyawa'. Harta masih bisa dicari, yang penting nyawa," ujarnya.
Hanya bermodal pakaian yang melekat di badan, Jefri bersama keluarga dan perantau lain menyelamatkan diri ke gereja terdekat.
Di gereja, kelompok perusuh dihalau masuk pendeta sehingga warga selamat dari kerusuhan lalu dievakuasi aparat TNI-Polri ke tempat lebih aman.
"Pendeta itu melarang mereka (perusuh) masuk ke Gereja, makannya kami semua selamat. Ada ratusan orang yang mengungsi ke Gereja, perantau dari Madura termasuk," tuturnya.
Anton (33), perantau asal Minang lainnya membenarkan bila warga asli Wamena yang selama ini dikenal ikut jadi korban.
Para perusuh tanpa pandang bulu membakar rumah dan bangunan lain sehingga membuat warga mengungsi ke berbagai tempat.
"Saya mengungsi ke Kodim, kios warung kelontong saya dibakar. Enggak ada barang yang bisa diselamatkan. Kalau pelakunya banyak, mereka menyebar. Tapi kita enggak kenal mereka," tutur Anton.
Kadispen AU Marsekal Pertama Fajar Adriyanto mengatakan warga asli Wamena meminta dievakuasi karena khawatir keselamatannya terancam.
Namun situasi berangsur kondusif sehingga dia optimis jumlah warga yang meminta dievakuasi tak sebanyak sebelumnya.
"Tidak hanya pendatang, penduduk asli pun ada yang kita evakuasi karena memang terjadinya konflik ini tidak jelas," kata Fajar.
Orang tua dan jenggotan
Para pengungsi mengakui bahwa dalam kerusuhan di Wamena, tidak semua warga Wamena terlibat dalam kerusuhan tersebut.
Sebagian para pengungsi di Sentani, Jayapura mengaku bahwa mereka justru bisa selamat karena ditolong oleh warga Wamena sendiri.
Seperti yang dialami oleh Amin (40), ia berhasil selamat setelah diajak bersembunyi di dalam rumah warga Wamena.
"Saya selamat dari karena ketika rumah saya di depan di bakar saya lari keluar lewat pintu belakang rumah. Sembunyi saya di rumah warga sana (Wamena)," kata Amin kepada TribunnewsBogor.com, Rabu (2/10/2019).
Baca: Kesaksian Budiarto, Korban Kerusuhan Wamena
Baca: Polisi Tetapkan 7 Tersangka di Kasus Rusuh Wamena
Tidak sampai di sana, Amin juga mengaku bahwa dia juga diberi informasi oleh warga Wamena terkait adanya kerumunan aparat agar lebih aman.
"Di sana ada anggota, dia dibilang begitu. Jadi tidak semuanya (ikut rusuh), ada juga yang menyelamatkan kita," katanya.
Dia mengatakan bahwa kerusuhan itu berawal dari demo mahasiswa di depan kantor bupati.
Namun, ketika kerusuhan terjadi, ia ragu bahwa para pelaku kerusuhan itu adalah para mahasiswa.
"Itu katanya (yang rusuh) mahasiswa. Itu semua tua-tua, berjenggot-jenggot itu, mana ada mahasiswa tua-tua, gak ada," katanya.
Baca: Majelis Nasional KAHMI Desak Jusuf Kalla ke Wamena
Hal yang sama juga dirasakan oleh pekerja di pabrik tahu, Sunam (33) yang mana dia juga diselamatkan warga lokal.
Sunam mengaku bahwa dia dan karyawan lain diusir oleh massa kemudian pabrik tahu tempat dia bekerja dihancurkan.
Saat hendak melarikan diri, Sunam dan kawan-kawannya sempat kebingungan karena sudah terkepung dan tak bisa lari kemana-mana.
"Kita semua karyawan diusir, kita itu lebih dari 50-an. Pabrik tahu tidak dibakar, tapi dirusak. Kita sempet dikepung, hari Senin itu," kata Sunam.
Akhirnya, saat itu sekitar pukul 09.00 WIT seorang warga asli Wamena memberinya pertolongan.
Dia dan 13 kawannya yang lain diajak bersembunyi di rumah warga asli Wamena tersebut sampai akhirnya Sunam diamankan aparat untuk dikirim ke pengungsian di Sentani.
"Jam 09.00 sampai jam 12.00 kita dibantu orang Wamena untuk bersembunyi di rumahnya," kata Sunam.