Hakim Praperadilan Terima Kesimpulan Pengacara dan KPK, Terkait Penetapan Tersangka Djoko Saputro
Hakim meminta kedua belah pihak, yaitu pihak kuasa hukum Djoko Saputro, dan kuasa hukuman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan kesimpulan
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahmad Zaini, hakim tunggal praperadilan pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menggelar sidang penetapan status tersangka kepada mantan Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta II, Djoko Saputro (DS).
Pada Jumat (18/10/2019) ini, sidang memasuki agenda sidang kesimpulan.
Hakim meminta kedua belah pihak, yaitu pihak kuasa hukum Djoko Saputro, dan kuasa hukuman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan kesimpulan.
Hakim memutuskan menutup persidangan perkara nomor praperadilan Nomor 115/Pid.Prap/2019/PN.Jkt.Sel itu. Untuk kemudian sidang dilanjutkan pada Selasa (22/10/2019) mendatang, agenda pembacaan keputusan.
"Tanpa dipanggil lagi, sidang saya tutup," ujar Ahmad Zaini menutup persidangan.
Sementara itu, Hasbullah, selaku kuasa hukum Djoko Saputro, menilai upaya KPK menetapkan status tersangka kliennya tidak sah.
Dia menegaskan, penetapan tersangka DS tidak sah karena melanggar hukum.
Baca: Komposisi Alat Kelengkapan Dewan DPR RI, PDIP Dapat Ketua Komisi III, IV, V Serta Ketua Banggar
Setelah sidang pembuktian praperadilan, kata dia, KPK dalam menetapkan tersangka kepada DS tanpa bukti saksi-saksi.
Dia mengklaim, saksi-saksi baru diperiksa setelah DS menjadi tersangka.
"Tentu hal itu tidak sah karena tidak sesuai KUHAP dan UU KPK," tuturnya.
Selain itu, menurut dia, berdasarkan fakta di persidangan, pada waktu KPK menetapkan DS sebagai tersangka tidak didasari bukti kerugian negara.
"Dalam bukti KPK tidak ada bukti kerugian negara sebelum DS ditetapkan tesangka, hal ini melanggar pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU Tipikor," tambahnya.
Adapun, pihak KPK selama persidangan praperadilan sudah menjelaskan mengenai alasan penetapan status tersangka Djoko Saputro.
Untuk diketahui, mantan Direktur Utama Perum Jasa Tirta (PJT) II Djoko Saputra dan Andririni Yaktiningsasi ditetapkan sebagai tersangka kasus suap terkait pengadaan pekerjaan jasa konsultasi tahun 2017.
Baca: KPK Jerat Direktur PT HTK Taufik Agustono Sebagai Tersangka
KPK telah menetapkan dua tersangka tersebut pada 7 Desember 2018. Namun keduanya belum ditahan.
Djoko Saputra selaku Direktur Utama Perum Jasa Tirta ll saat itu diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.
Diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam dalam pengadaan pekerjaan jasa konsultansi di Perum Jasa Tirta ll Tahun 2017.
Pada 2016 setelah diangkat menjadi Direktur Utama Perum Jasa Tirta II Djoko Saputra diduga memerintahkan relokasi anggaran.
Revisi anggaran dilakukan dengan mengalokasikan tambahan anggaran pada pekerjaan pengembangan SDM dan strategi korporat yang pada awalnya senilai Rp2,8 miliar menjadi Rp9,55 miliar.
Yaitu, perencanaan strategis korporat dan proses bisnis senilai Rp3,82 miliar dan perencanaan komprehensif pengembangan SDM Perum Jasa Tirta ll sebagai antisipasi pengembangan usaha perusahaan senilai Rp5,73 miliar.
Perubahan tersebut diduga dilakukan tanpa adanya usulan baik dari unit lain dan tidak sesuai aturan yang berlaku.
Setelah dilakukan revisi anggaran, Djoko kemudian diduga memerintahkan pelaksanaan pengadaan kedua kegiatan tersebut dengan menunjuk Andririni sebagai pelaksana pada kedua kegiatan tersebut.
Dalam pelaksanaan kedua pekerjaan tersebut, Andririni diduga menggunakan bendera perusahaan PT Bandung Management Economic Center (BMEC) dan PT 2001 Pangripta.
Realisasi penerimaan pembayaran untuk pelaksanaan proyek sampai 31 Desember 2017 untuk kedua pekerjaan tersebut adalah Rp5.564.413.800.
Dengan rincian, pekerjaan komprehensif pengembangan SDM Perum Jasa Tirta II sebagai antisipasi pengembangan usaha perusahaan sebesar Rp3.360.258.000 dan perencanaan strategis korporat dan proses bisnis sebesar Rp2.204.155.800.
Diduga nama-nama para ahli yang tercantum dalam kontrak hanya dipinjam dan dimasukkan ke dalam dokumen penawaran PT BMEC dan PT 2001 Pangripta sebagai formalitas untuk memenuhi administrasi lelang.
Diduga pelaksanaan lelang dilakukan menggunakan rekayasa dan formalitas dengan membuat penanggalan dokumen administrasi lelang secara backdated.
Diduga kerugian keuangan negara setidak-tidaknya Rp3,6 miliar yang merupakan dugaan keuntungan yang diterima Andririni dari kedua pekerjaan tersebut atau setidaknya lebih dari 66 persen dari pembayaran yang telah diterima.