Ketua DPRD Sulteng Nilai Pemulihan Pasca-Bencana Harus Berdasar Cetak Biru
Dia menjelaskan cetak biru rencana induk, rehabilitasi dan rekonstruksi di Sulawesi Tengah bersifat parsial yang terdiri dari berbagai program
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Nilam Sari Lawira, mengatakan pemulihan pascabencana di Sulawesi Tengah, khususnya Palu, Sigi, dan Donggala harus dipandang berdasarkan cetak biru “Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sulawesi Tengah" yang telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah.
Menurut dia, dokumen rencana induk itu, satu-satunya rujukan utama dalam proses pemulihan kembali pascabencana.
Mulai dari gambaran kerusakan secara umum, data kerusakan, data korban, strategi dan pendekatan yang digunakan, maupun gambaran berbagai program yang akan dilaksanakan, berikut taksiran biaya yang diperlukan.
"Saya berpikir, bila kita ingin mengambil fokus masalah pada penyintas, khususnya perempuan, sebagai starting poin membedah rehab rekon. Maka kita harus memahami bagaimana pendekatan dasar rehabilitasi yang berhubungan dengan manusia," kata dia, dalam keterangannya, Senin (2/12/2019).
Dia menjelaskan cetak biru rencana induk, rehabilitasi dan rekonstruksi di Sulawesi Tengah bersifat parsial yang terdiri dari berbagai program dan kegiatan.
Demikian pula dengan pola penangannya juga terpisah.
Pada saat ini, kata dia, pada konteks kerja DPRD yang bisa dilakukan untuk merespons rehab rekon di semua tingkatan hanya pada pelaksanaan fungsi pengawasan.
Sebab intervensi kegiatan tidak mungkin lagi bisa diubah karena anggaran mengikuti satuan program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam Rencana Induk Rehab Rekon.
"Oleh karena itu, tugas anggota DPRD dan semua stakeholder gerakan perempuan adalah memastikan bahwa agenda penguatan perempuan penyintas dihadirkan dalam semua proses itu," kata dia.
Dia menjelaskan, DPRD mempunyai dua agenda besar: pertama, mendorong kelompok perempuan menjadi aktor penting dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Kedua, Isu-isu krusial perempuan harus bisa ditangkap secara jelas dan terukur ketika proses berlangsung.
Maka dari itu, semua hal yang berkaitan dengan bagaimana perempuan hadir dalam semua program dan kegiatan, harus bisa dicatat secara kuantitatif tidak sekadar kualitatif.
Dia menegaskan, pendekatan rehabilitasi dan rekonstruksi sangat tegas dan jelas: bersifat universal yang berbasis pada pemulihan penyeluruh, mulai dari gedung, jalan, hingga semua jaringan kebutuhan masyarakat yang hidup dalam lokasi bencana.
Pemerintah mengambil semboyan internasional yang jamak diperkenalkan sebagai cetak biru pasca bencana di seluruh dunia: build back better atau membangun kembali.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.