Sampah dan Eceng Gondok di Waduk Saguling Disulap Jadi Briket dan Listrik
Waduk Saguling menjadi tempat 'penampungan' sampah-sampah yang dibuang ke Sungai Citarum dan anak-anak sungainya.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG- Waduk Saguling menjadi tempat 'penampungan' sampah-sampah yang dibuang ke Sungai Citarum dan anak-anak sungainya.
Sampah rumah tangga pun bercampur dengan eceng gondok dan menjadi masalah bagi PLTA Saguling yang selama ini menyuplai listrik untuk Pulau Jawa dan Bali.
Caranya, PT Indonesia Power Saguling mendirikan pabrik yang memproduksi briket berbahan baku eceng gondok dan sampah rumah tangga.
"Bagaimana kami olah sampah menjadi energi, sampah-sampah di waduk ini kita kumpulkan, angkat bersama eceng gondoknya. Kami keringkan dan olah menjadi briket."
"Setelah sampah jadi masalah, sekarang sudah jadi berkah," kata Rusdiansyah dalam kegiatan Jabar Punya Informasi (Japri) bertema peringatan Hari Peduli Sampah Nasional tersebut di Gedung Sate, Selasa (25/2/2020).
Rusdiansyah mengatakan pabrik ini didirikan di sekitar Waduk Saguling, tepatnya di Desa Rongga dan Bongas.
Pihaknya sudah melatih para petani keramba jaring apung dan warga sekitar menjadi pembuat briket tersebut.
"Briket sampah ini kemudian kami gunakan menjadi bahan energi listrik. Ada laboratorium dan fasilitas yang didirikan di sekitar waduk di atas lahan seluas 4 hektare. Kami akan terus mengembangkan pelatihan dan usaha ini," tuturnya.
Dalam sehari, pabrik briket ini mengolah tiga ton sampah menjadi satu ton briket. Penggunaannya 50 persen sampah domestik, 50 persen eceng gondok.
Khusus gulma atau eceng gondok, diolah dengan cara dikeringkan dulu dan difermentasi agar nilai kalorinya bertambah jadi tiga kali lipatnya, yakni bertambah dari 1.200 menjadi 3.200 kalori.
"Sekarang listrik masih dipakai untuk kebutuhan pabriknya, karena masih menghasilkan 10 kiloWatt. Pada 2020 akan ada pengembangan lebih besar, sampai menghasilkan 1 megaWatt," katanya.
Biaya produksi listrik tersebut, katanya, Rp 300 per kWh. Untuk menghasilkan 1 kWh listrik, dibutuhkan 4 kilogram briket.
Pihaknya pun sudah mendapat pesanan untuk pemasaran ke PLTU dan pabrik tekstil walaupun baru bisa memproduksi 1 ton briket per hari.
Rusdiansyah mengatakan pihaknya tengah mengurangi jumlah petani keramba jaring apung di Saguling yang kini sudah berjumlah 35 ribu keramba. Angka ini sudah melampaui daya dukung waduknya sendiri.
Karenanya, alih profesi menjadi produsen briket dapat menjadi solusi lingkungan sekaligus perekonomian di Saguling.
Artikel ini telah tayang di tribunjabar.id dengan judul Masalah Jadi Berkat, Sampah dan Eceng Gondok Disulap Jadi Briket dan Listrik di Saguling