Setelah Video Viral, Gubernur NTT Dipetisi untuk Larang Kawin Tangkap di Sumba
Praktik kawin tangkap merupakan adat namun menyebabkan penderitaan, ketakutan, rasa tidak aman dan trauma yang mendalam bagi perempuan
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yulis
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktik kawin tangkap di Sumba kembali menjadi sorotan publik setelah viral video seorang perempuan ditangkap di rumah tetangganya.
Dalam video terlihat perempuan tersebut berteriak dan meronta. Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (BPN PERUATI) menyoroti praktik ini sebagai tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Melalui halaman petisi daring di Change.org, PERUATI meminta kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur untuk menerbitkan Peraturan Daerah larangan praktik kawin tangkap di 4 kabupaten di Pulau Sumba. Petisinya bisa diakses di www.change.org/StopKawinTangkap
Kawin tangkap adalah praktik pernikahan yang dianggap wajar sebagai bagian dari tradisi di Sumba.
Namun menurut Darwita Purba dari PERUATI, praktik kawin tangkap menyebabkan penderitaan, ketakutan, rasa tidak aman dan trauma yang mendalam bagi perempuan.
Baca: Bukit Wairinding dan 5 Tempat Wisata Populer di Sumba untuk Dikunjungi saat New Normal
Menurutnya praktik kawin tangkap juga melanggar Hak Asasi Perempuan seperti tercantum dalam CEDAW (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi melalui UU RI No.7 tahun 1984.
Darwita menegaskan ketiadaan payung hukum yang mendasari praktik kawin sebagai tindakan ilegal membuat perempuan korban kawin tangkap tidak berdaya dan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya pasrah dan memilih berdamai dengan pelaku.
“Walaupun pada akhirnya terdengar kabar bahwa keluarga korban melanjutkan percakapan adat dengan pelaku kawin tangkap, tetap saja praktik pemaksaan pernikahan seperti ini membuat perempuan dalam posisi yang tidak berdaya dan tidak berhak atas keputusannya sendiri,” tulis Darwita.
Terkait kawin tangkap, Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur, Emilia Nomleni juga meminta praktik 'kawin tangkap' di Pulau Sumba harus dihentikan. Dia menganggap, praktik 'kawin tangkap' sangat merendahkan kaum perempuan.
Emilia mengatakan, praktik kawin tangkap di Sumba bisa saja tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada anak, karena memang tidak pernah tahu perempuan-perempuan itu usianya berapa saat ditangkap.
Baca: Polemik RUU PKS Ditarik dari Prolegnas 2020, Komnas Perempuan hingga Wakil Ketua DPR Angkat Bicara
Di halaman petisi juga terlihat sejumlah komentar dari pendukung petisi seperti berikut:
“Seorang teman pernah bercerita bahwa ini memang merupakan kasus yang serius dan harus ditindaklanjuti demi kebaikan bersama. Saya harap ini dapat menjadi pertimbangan pemerintah daerah bukan saja di NTT tapi di seluruh Indonesia,” tulis Salsabila Iftinan.
“Petisi ini menjadi langkah kecil menolak budaya kawin tangkap. Menyadari sepenuhnya manusia memiliki hak dasar memilih dan tidak dipaksa untuk melakukan apapun dengan tanggung jawab dan kesadaran. Semoga pemerintah daerah bisa serius melihat hal ini dan memberi perhatian yang besar,” tulis Sanita Retmi.
“Perlu kajian kritis secara mendalam terkait konteks historis (budaya) dan ditinjau kembali secara kajian teoritis. Agar tidak ada yang merasa didiskriminasi. Saya berharap, secepat mungkin PERDA diluncurkan agar tidak ada lagi korban diskriminasi,” tulis Ardiyansah Talundima.
Menanggapi petisi #StopKawinTangkap melalui detik.com, Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT Marius Ardu Jelamu menyatakan dukungannya atas petisi itu.
Menurutnya, adat yang melanggar hak asasi manusia harus dihilangkan. Namun, berdasarkan keterangannya Gubernur NTT belum membahas soal ini.
“Oleh sebab itu, kami memerlukan dukunganmu kawan-kawan untuk mendorong Gubernur Nusa Tenggara, Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat, S.H., M.Kn. agar mengeluarkan Perda Larangan Praktik Kawin Tangkap di 4 Kabupaten di Pulau Sumba sehingga jika ada yang masih melakukannya dapat diproses secara hukum”, tutup Darwita di petisi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.