Merdeka Belajar dari Bantaran Sungai Bengawan Solo
Memberikan kebebasan kepada peserta didik merupakan satu di antara konsep belajar yang diusung SD Alam Bengawan Solo sejak didirikan pada 2011 lalu.
Penulis: Sri Juliati
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
Pria yang pernah mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo ini juga ingin mengubah cara pandang masyarakat sekitar: belajar tidak harus berada di tempat tertentu.
"Saya ingin mendekatkan media belajar atau laboratorium hidup kepada anak-anak," katanya.
Di tengah perjuangan mewujudkan gagasannya, Suyudi perlahan-lahan memperbarui bangunan sekolahnya.
Ia memanfaatkan tanah bantaran Sungai Bengawan Solo yang mangkrak milik Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo.
Suyudi mulai membangun sejumlah tempat belajar berbentuk saung bertingkat dari kombinasi kayu dan bambu dengan desain semi terbuka.
Tak ada tembok permanen yang menjadi sekat antar ruangan sebab ia ingin anak-anak nyaman saat belajar.
Gayung bersambut, pada 2010, Suyudi bertemu arsitek muda bernama Jefri Nur Arifin.
Pria yang memutuskan kembali ke kampung halamannya itu tertarik dengan konsep pendidikan yang digagas Suyudi.
Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk berkolaborasi dan mendirikan sekolah dasar sesuai impian.
Pada 2011, berdirilah SD Alam Bengawan Solo dengan 16 murid angkatan pertama.
Kala itu, sekolah lebih bersifat semi sosial sebab sebagian besar siswa berasal dari keluarga tidak mampu.
Sehingga mereka tidak perlu membayar SPP lantaran sudah ter-cover dari dana yang dikeluarkan Suyudi serta bantuan donatur.
Perjuangan SD Alam Bengawan Solo tak berhenti sampai di situ.
Walau sudah berhasil mendirikan sekolah, Suyudi mengaku tetap dipandang sebelah mata oleh beberapa orang.