Lewat Jasa Tensi Darah Keliling, Kakek 70 Tahun Bisa Sarjanakan Anak hingga Jadi PNS, Ini Kisahnya
Kisah perjuangan dalam menjalani hidup datang dari seorang kakek Rahmat Ali.
Editor: Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM - Kisah perjuangan dalam menjalani hidup datang dari seorang kakek Rahmat Ali.
Kakek 70 tahun itu berhasil menyekolahkan anak-anaknya, bahkan ada yang hingga ke jenjang sarjana.
Rahmat Ali diketahui sehari-hari bekerja menawarkan jasa tensi darah keliling.
Ia sudah menjalani penyedia jasa tensi darah keliling selama 40 tahun.
Baca juga: Kisah Diaspora Thierry Timans Bertemu Penyanyi Asal Jogja di Kaledonia Baru, Kini Jadi Istrinya
Rahmat Ali merupakan warga asal Kampung Cirumput, Desa Salaawi, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Meski telah menginjak usia senja, rambut sudah dipenuhi dengan uban, janggut mulai memutih, ia masih terlihat sehat.
"Hampir setiap hari tuyul ini saya bawa ke mana-mana," katanya sambil menunjuk kotak panjang berwana merah saat ditemui di Jalan Perpustakaan, Kota Sukabumi, Rabu (24/3/2021).
Tuyul yang dia maksud bukanlah tuyul yang sering dianggap masyarakat sebagai mahluk gaib.
Tuyul dimaksud kakek tinggi kurus tersebut merupakan sebuah alat kesehatan yaitu tensimeter.
"Ini hampir selama 40 tahun, alat ini dapat menghasilkan uang, juga dapat menghidupi istri dan anak-anak. Sehingga saya selalu menyebutnya tuyul," ucapnya sambil tersenyum lebar pada beberapa orang di sekitarnya.
Baca juga: Kisah Mantan Pemain Manchester United yang Sekarang Jadi Kuli Bangunan
Kakek bertopi loreng ini mengisahkan, sebelum berprofesi sebagai jasa tensi darah keliling, ia merupakan seorang honorer penyuluh kesehatan di Kecamatan Sukarja, Sukabumi sekitar akhir tahun 1970.
Pertama menjadi penyuluh di bidang kesehatan, kakek lulusan Sekolah Lanjutan Tingkatan Atas (SLTA) ini dibayar sebesar Rp 15 ribu per bulan, setelah menginjak satu tahun upahnya sebagai honorer naik menjadi Rp 35 ribu per bulan.
"Saat itu gaji sebesar Rp 35 ribu, sedangkan utang ke warung untuk keperluan rumah tangga mencapi Rp 45 ribu. Setelah hampir selama tiga tahun menjadi penyuluh, saya mencari pekerjaan lain," katanya.
Pada akhirnya sekitar tahun 1973-an, Rahmat diterima di perusahaan batu bara sebagai teknisi.