Kisah Ketua DPRD Kota Depok, Dua Kali Gagal Tes Akabri
Nasib seseorang kadang lurus sesuai keinginan, tapi sering berbelok. Ketua DPRD Depok, Teuku Muhammad Yusufsyah Putra, tak bermimpi jadi politikus.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok, Teuku Muhammad Yusufsyah Putra, mengaku dirinya enggak pernah terpikir untuk menjadi politisi.
Cita-cita Putra semasa anak-anak adalah mengabdi kepada negeri sebagai Tentara Nasional Indonesia.
Sekadar mengingatkan, pada 1962 hingga 1 April 1999, Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) karena masih satu atap dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Namun Putra ternyata dua kali gagal melewati tes masuk.
Lantas bagaimana ia kecemplung di dunia politik? Pria kelahiran Jakarta, 11 Juni 1970 ini menyebut posisinya sekarang merupakan hasil karyanya sejak duduk di bangku perguruan tinggi.
Berikut petikan wawancara eksklusif Warta Kota dengan politisi yang pernah menjabat Sekretaris Umum DPD PKS Kota Depok, belum lama ini:
Bagaimana Anda mengawali karier di dunia politik, apakah itu cita-cita dari kecil?
Awalnya mau jadi tentara, terus kuliah. Nah, di kuliah itu saya ketemu pengajian dengan halaqah yang merupakan cikal bakal (terbentuknya) PK (Partai Keadilan sebelum berubah jadi PKS).
Saat itu namanya masih PK, lalu saya terjun di dalamnya, anak-anak kampus itu-lah cikal bakalnya PK berdiri. Kemudian, berdirilah PK.
Ketua PK pertamanya ketika itu Pak Imam (Budi Hartono/Wakil Wali Kota Depok), saya ketua ranting.
Nah karena cita-cita saya menjadi tentara, saya ikut tes masuk Akabri tahun 1989 tapi ternyata gagal. Kemudian coba lagi ikut tes tahun berikutnya di tahun 1990, sudah masuk Magelang waktu itu tapi kemudian gagal lagi.
Ya mungkin takdir ya, saya juga enggak mungkin tanya panitia kan kenapa saya gagal. Tapi tahun 1989 itu juga saya uber ke Bandung untuk masuk STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) karena memang maunya masuk militer.
Pas saya sampai sana, ternyata di GOR (Gelanggang Olahraga) lagi tes (berlangsung), saya coba kejar lagi Sandi Negara di Jakarta tapi sama juga, lagi tes juga.
Belum jodohnya memang saya masuk militer, mungkin kalau jadi masuk saya seangkatan dengan Kapolres (Polres Metro Depok) yang sekarang tuh (Kombes Pol Imran Edwin Siregar) sama anaknya Pak Tri (Sutrisno).
Akhirnya ke Gunadarma karena waktu itu satu-satunya kampus yang masih buka (pendaftaran) karena memang saya harus kuliah, orangtua maunya saya kuliah.
Apa yang dipesankan orangtua saat itu?
Bapak saya awalnya wartawan, nama majalahnya Sonata di Jakarta. Kemudian beliau tes di bank swasta sampai 1987.
Ya yang teringat saya ya mereka berpesan tetap dalam pergaulan harus mengedepankan bagaimana menjaga diri dari sisi agama, salat, kalau mengaji itu keharusan karena di rumah juga kan mengundang guru mengaji.
Saya begitu kagum dengan keberanian bapak saya. Dia kan seorang yang merantau. Dari kedisiplinannya karena bapak saya orangnya keras, jadi membentuk kami terbiasa disiplin, menghargai waktu dan pergaulan yang diutamakan karena memang 1000 teman sedikit, satu musuh sangat banyak.
Ya, Alhamdulillah saya tetap menjaga itu. Makanya moto di DPRD (Kota Depok) ini "Kebersamaan Dalam Keberagaman" karena bermacam-macam warna kan. Boleh berbeda tapi tetap satu tujuan yaitu demi kesejahteraan masyarakat.
Boleh diceritakan bagaimana Anda kemudian memutuskan untuk membentuk keluarga sendiri?
Ya, saya ketemu istri (melalui proses) taaruf, dia di IAIN (UIN) kuliahnya, ketemuannya di rumah temannya.
Saya lihat wah nih bisa jadi jodoh saya. Waktu itu dikenalin dari guru mengaji. Saya kan berprinsip ketika kuliah target selesai lanjut setahun kerja lalu menikah.
Pokoknya umur 25 tahun itu sudah menikah. Lalu saya bilang ke guru mengaji kalau saya telah siap nikah. Saya kasih foto dan data saya, ya dikasih pilihan tapi kalau saya enggak banyak pilihan cukup satu istri, itu aja pas liat dah merasa cocok.
Waktu itu saya kasih foto yang terbaik tapi ternyata engga dikasih lihat (fotonya ke calon wanita yang ingin bertaaruf) sama guru mengaji, cuma data saya saja.
Jadi beruntung lah itu istri saya bisa dapatin saya walaupun belum tahu, ha-ha-ha. Ini takdir Allah, istikharah karena foto enggak lihat dan data cuma secarik kertas aja ketika itu yang dia punya kan yang dikasihkan dari guru mengaji.
Lalu bagaimana cara Anda merawat keharmonisan dengan pasangan, mengingat enggak melewati proses pacaran?
Enggak sepemahaman itu bagian dari bumbu-bumbu, menikah kan bukan mencari seseorang yang sempurna tapi bagaimana saling mengisi.
Saya menikah tahun 1995, tanggal 8 Oktober. Dua hari setelah menikah orangtua saya berulang tahun. Tanggal lahir dan tahun kelahiran bapak ibu saya sama.
Saya sekarang sudah dikaruniai lima anak, tiga putri dan dua putra. Yang paling besar usianya 25 (tahun), kalau yang bungsu kelas 3 SMP mau masuk SMA.
Terakhir, sebagai wakil rakyat, pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada masyarakat khususnya warga Kota Depok?
Walaupun Covid-19 belum mereda, Insya Allah kita tetap semangat. Mudah-mudahan wabah Covid-19 segera berakhir dan tetap jaga protokol kesehatan untuk memutus rantai Covid-19. (vin/eko)