Ini Pengalaman Anak Blasteran Bule – Jawa, Sarat dengann Tragikomedi
Menjadi blasteran bule - Jawa itu sarat dengan tragikomedi. Mulai dianggap pinter sampai ayah yang bule beristri dua.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, YOGAKARTA - Tak dimungkiri, cara pandang rasial masih melekat dan mempengaruhi sikap sebagian masyarakat Indonesia terhadap orang asing, khususnya ras kaukasoid.
Strata warga kulit putih dipandang lebih tinggi.
Hal itu ditambah, produk kebudayaan modern baik iklan maupun film, mengukuhkan standar kerupawanan kulit putih.
Akarnya, kolonialisasi barat mengatur hidup masyarakat jajahan sebagai pihak yang diberi "peradaban".
Struktur politik global, mempertahankan dan mewajarkan kolonialisasi lewat produk budaya visual.
Pengalaman hidup istimewa sebagai anak blasteran diceritakan Katharina Stögmüller dalam buku berjudul “Ich Komme aus Sewon” atau yang dalam bahasa Indonesia berarti 'Saya dari Sewon'.
Segala prasangka bahwa orang barat lebih segala-galanya, nyatanya membuat Mbak Bul, sapaan akrab Katharina kerap kali merasa tidak nyaman.
Namun pengalaman-pengalaman itu ia kemas dalam bahasa jenaka, sekaligus kontemplatif di saat bersamaan dalam bukunya.
Memang benar berkat anugerah “gen” dari sang ayah, Mbak Bul memiliki wajah yang agak kebule-bulean, hidung mancung, dan rambut yang berwarna agak pirang.
Di sisi lain, ia pun 'mewarisi' aksen medok dari sang ibu.
Namun nyatanya, hidup sebagai anak blasteran dari pasangan Gunther Stögmüller (Austria) dan Lucky Toar (Indonesia), dihadapkan pada banyak kesulitan seperti rumit dan mahalnya mengurus izin tinggal, dikenakan tarif turis asing yang selangit ketika hendak berwisata, bahkan stereotip tidak mengenakkan yang mengarah padanya.
Berikut wawancara eksklusif Tribun Jogja dengan Katharina Stögmüller:
Bagaimana ceritanya bisa menulis buku tersebut dan menceritakan apa yang selama ini kamu rasakan ketika tinggal di Jogja?
Awalnya saya beberapa kali mendapat kesempatan untuk menulis di Mojok.co, sama ada tulisan di Magdalene.co.