Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

TPDI Soroti Kegiatan Pengukuhan TPAKD di Pulau Semau NTT

TPDI mengkritik kegiatan Pengukuhan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) kota dan kabupaten se Nusa Tenggara Timur (NTT).

Editor: Adi Suhendi
zoom-in TPDI Soroti Kegiatan Pengukuhan TPAKD di Pulau Semau NTT
Tribunnews.com/ Fitri Wulandari
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mengkritik kegiatan Pengukuhan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) kota dan kabupaten se Nusa Tenggara Timur (NTT) di Desa Otan, Pulau Semau, Kabupaten Kupang pada Jumat 27 Agustus 2021.

Diketahui kegiatan yang dihadiri Gubernur NTT, Wakil Gubernur NTT, para bupati, dan pejabat serta peserta lainnya diduga melanggar protokol kesehatan.

Diketahui, video tetang acara tersebut pun viral di media sosial.

"Beredar viral di medsos, cuplikan video pegelaran acara yang nampak sangat mewah untuk ukuran NTT, dimana semua pejabat NTT (Gubernur, Wakil Gubernur, para bupati se-NTT) hadir dalam acara di Pulau Semau yang megah, melibatkan artis pendukung membuat semua mata terpana, nyaris tak percaya bahwa penyelenggara acara itu Gubernur NTT," kata Petrus Selestinus dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Minggu (29/8/2021).

Menurut Petrus, kehadiran Gubernur, Wakil Gubernur NTT, dan hampir seluruh Bupati se-NTT dalam acara tersebut jelas dapat dikualifikasi sebagai sikap insubordinasi atau pembangkangan terhadap kebijakan Pemerintah Pusat.

Selain itu, menurut dia, kegiatan tersebut mengkhianati Instruksi Gubernur NTT dan rasa keadilan publik, terlebih-lebih ini masuk kategori sebagai tindak pidana. 

"Ini jelas perilaku yang tidak pantas, tidak patut dicontoh bahkan mereka tidak layak dipercaya lagi, jika pada Pilkada 2024 mereka maju lagi dalam pencalonan Pilkada periode berikutnya, karena warga NTT sudah mencatat semua yang terjadi," ujar Petrus Selestinus.

Berita Rekomendasi

Advokat Peradi ini pun meminta agar Kapolda NTT tidak boleh 'menjadi bunglon'.

Baca juga: Kunjungi Kerajaan Termanu di NTT, Ketua DPD RI Diangkat Jadi Anggota Kehormatan Dewan Adat

Di mana ketika warga NTT berkumpul dan berkerumun, warga dikejar-kejar dan acaranya dibubarkan, bahkan ada warga yang disiksa atas nama penegakan protokol kesehatan Covid-19. 

Namun,ketika para pejabatnya bertindak congkak berlebihan, pamer kemewahan di saat warga NTT yang terdampak Covid-19, menghadapi kesulitan ekonomi serius, dengan menabrak semua Peraturan Perundang-Undangan, Kapolda NTT seakan membiarkan tanpa ada penindakan.

"Kapolda NTT harus memproses hukum Gubernur NTT, Wakil Gubernur NTT dan semua Bupati se NTT yang hadir dan 'berpesta pora' atas dugaan melanggar Protokol Kesehatan, tanpa beban dan rasa malu sedikitpun terhadap warganya yang menyaksikan dan menonton rekaman video yang telah beredar secara luas," ujarnya.

Baca juga: NTT Wilayah Berkepulauan, Ketua DPD RI Nilai Vaksinasi Terapung Solusi Tepat

Ia pun mengungkap landasan hukum untuk Kapolda NTT dan jajarannya bertindak menyikapi dugaan pelanggaran protokol kesehatan tersebut, yaitu Peraturan Perundang-Undangan dan lebih khusus lagi Instruksi Kapolri dalam Surat Telegram terkait Penegakan Protokol Kesehatan Covid-19, No ST/3220/XI/KES. 7./2020 tanggal 16/10/2020, dua butir di antara perintah Kapolri itu adalah:

a. Agar seluruh jajaran Kepolisian menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap pelanggar Protokol Kesehatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.

b. Apabila dalam penegakan perda atau peraturan kepala daerah tentang penerapan protokol kesehatan Covid-19, ditemukan adanya upaya penolakan, ketidakpatuhan atau upaya lain yang menimbulkan keresahan masyarakat dan mengganggu stabilitas kamtibmas, maka lakukan upaya penegakan hukum secara tegas terhadap siapapun.

Menurut Petrus, dalam Surat Telegram itu tercantum pula pasal-pasal yang menjadi acuan, yakni Pasal 65 KUHP, Pasal 212 KUHP, Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHP, Pasal 216 KUHP, dan Pasal 218 KUHP jo. Undang-Undang No. : 2 Tahun 2002, Pasal 84 dan Pasal 93 UU No. : 6 Tahun 2018, Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Baca juga: Komisi III DPR Minta Polisi Dampingi Penyembuhan Trauma Anak Korban Kekerasan di NTT

Ia pun mengatakan, Gubernur NTT sendiri sudah mengeluarkan instruksi untuk PPKM berlaku sampai 6 September 2021 dan instruksi itu mengikat seluruh warga NTT dan siapapun yang berada di NTT termasuk Para Pejabat (Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati-Bupati se NTT), sehingga wajib hukumnya untuk ditaati sebagai suri tauladan bagi warga.

"Namun yang terjadi, justru mereka secara berjamaah menjilat ludahnya sendiri. Dan anehnya Bupati-Bupati se-NTT yang hadir, nampak seperti kerbau dicocok hidung yang mau saja digiring, tanpa ada yang berani menyatakan protes atau keberatan atau secara santun ingatkan Gubernur NTT bahwa ada Instruksi Kapolri dan Peraturan Perundang-Undangan yang harus ditaati," ujarnya.

Ada larangan UU yaitu tidak melakukan kerumunan dalam kegiatan apapun, atas nama apapun, dan oleh siapapun juga, karena kerumunan berpotensi melahirkan klaster penyebaran virus corona yang lebih masif, yang tak terduga penyebarannya.

"Kepada Kapolres-Kapolres se NTT, harus bertindak untuk memproses Bupati-Bupati di wilayah hukum Polres masing-masing Kabupaten, membantu Kapolda NTT dalam mewujudkan Penegakan Hukum yang presisi dan berkeadilan, sesuai dengan visi dan misi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo," ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas