Bali Hasilkan 800 Ton Sampah Plastik Per Hari, WALHI: Penerapan Perda Belum Konsisten
Get Plastic, perkumpulan berbagai lembaga nirlaba yang memiliki misi mengajak masyarakat Bali agar lebih peduli pada sampah plastik.
Penulis: Yulis
Editor: Choirul Arifin
![Bali Hasilkan 800 Ton Sampah Plastik Per Hari, WALHI: Penerapan Perda Belum Konsisten](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/pantai-kuta-kotor.jpg)
TRIBUNNEWS.COM - Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai sempat digaungkan sebagai regulasi revolusioner untuk mengatasi permasalahan sampah yang tak ada habisnya di Pulau Dewata.
Pergub Nomor 97 Tahun 2018 tersebut secara spesifik melarang produsen, distributor dan pelaku usaha untuk memproduksi, mendistribusikan dan menyediakan kantong plastik, styrofoam dan sedotan plastik untuk mengurangi sampah plastik dan mencegah kerusakan lingkungan.
Sayangnya, realitas lapangan berkata lain, larangan plastik sekali pakai yang diberlakukan per 1 Juli 2019 ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan.
Melansir Mongabay Indonesia, dua tahun pasca Pergub tersebut dirilis, Bali masih menghasilkan sekitar 4.281 ton sampah per hari atau 1,5 juta ton tiap tahun. Sekitar 829 ton atau 20 persennya adalah sampah plastik.
Padahal menurut Direktur Eksekutif WALHI Bali I Made Juli Untung Pratama masyarakat Bali sejatinya sudah memiliki kesadaran dalam memilah sampah.
Baca juga: Kurangi Sampah Plastik, KAI Ganti Kemasan Makanan dan Minuman dengan Bahan Ramah Lingkungan
“Kalau di Bali masyarakat sebenarnya sudah sadar, tapi masyarakat lelah karena dia disuruh milah sampah organik dan non organik, tapi nanti pas diambil dimasukkan lagi di tempat yang sama kan percuma juga mereka memilah sampah,” jelas Untung saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (25/1/2022).
Baca juga: Sampah Plastik di Bali Kian Mengkhawatirkan, Sinergi Seluruh Pihak Jadi Solusi
Menurut Untung, belum optimalnya pengelolaan sampah terutama sampah plastik di Bali berkaitan dengan ketidakkonsistenan Pemerintah Provinsi Bali dalam menerapkan peraturan yang telah dibuat.
Di antaranya, Perda Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Sampah dimana pada pasal 14 ayat 1 tertuang, “Setiap badan usaha wajib melakukan pemanfaatan kembali sampah yang dihasilkan dengan cara menarik kembali sampah dari produksi dan/atau kemasan yang dihasilkannya.”
“Masyarakat harus melakukan pengelolaan sampah secara terpadu, tapi untuk perusahaan-perusahaan dengan produk berbahan plastik dibiarkan bebas untuk memproduksi sampah plastik sebanyak-banyaknya tanpa dibebani pertanggungjawaban untuk menarik kembali sampah yang dihasilkan,” ujarnya.
Baca juga: Ratusan Kilogram Sampah Berserakan di Pantai Parangtritis Usai Perayaan Tahun Baru
Untuk itu, tambah Untung, semestinya perusahaan-perusahaan dengan produk berbahan plastik seperti produk air minum dalam kemasan botol maupun gelas plastik semestinya bertanggung jawab untuk menarik kembali sampah yang dihasilkan.
Terlebih, laporan lingkungan yang dilakukan Sungai Watch–sebuah lembaga nirlaba lingkungan berbasis di Bali–menyebutkan bahwa umumnya bentuk sampah yang mengotori sungai-sungai di Bali merupakan sampah korporasi, terutama yang berupa botol plastik, sedotan, kantong kresek, kemasan saset, gelas plastik, ban, sendal, kertas dan kardus, styrofoam, dan plastik keras jenis HDPE (High-density polyethylene). Dari semua jenis sampah plastik tersebut, sampah gelas plastik menjadi salah satu polusi plastik paling buruk.
Get Plastic, perkumpulan berbagai lembaga nirlaba yang memiliki misi mengajak masyarakat Bali agar lebih peduli pada sampah plastik yang mereka hasilkan.
Salah satu pendiri Get Plastic di Bali, Dimas Bagus Wijanarko, mengatakan Get Plastic telah secara giat mengedukasi masyarakat terkait kegiatan pengolahan sampah berprinsip ekonomi sirkular, agar dapat berdampak besar secara ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya.
“Sampah plastik bisa diolah dengan prinsip ekonomi sirkular dengan peran dari masyarakat yang mengumpulkan sampah plastik lalu peran pihak lain, seperti NGO untuk mengolahnya menjadi produk yang bisa digunakan berulang-ulang, seperti bahan bakar,” tambah Dimas.