Praktik Mafia Visa di Bali Bersumber dari Hulu
Perusahaan travel yang diduga menjadi mafia visa merupakan hilir dari aturan-aturan untuk kedatangan wisatawan mancanegara yang terkesan 'menjelimet.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Ketua Dewan Pengurus Daerah Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (DPD ASITA) Bali, I Gede Putu Winastra menanggapi soal mafia visa yang menarif Rp 5,5 juta untuk jalur cepat berwisata ke Bali.
Berbicara mengenai visa, terdapat agen yang khusus menjual visa, kemudian juga terdapat agen yang khusus meng-handle paket tour seperti ASITA.
"Saya kira kalau agen visa ini menjual dengan harga mahal itu cuma etikanya kurang pas ketika kita mengharapkan wisman datang. Nah sebenarnya yang perlu kami cari tahu adalah mengapa orang berani berbuat seperti itu," kata dia, Senin (21/2).
Menurutnya, permasalahan tersebut berada pada hulu atau awal dari permasalahan tersebut.
Ia mengatakan, perusahaan travel yang diduga menjadi mafia tersebut merupakan hilir dari aturan-aturan untuk kedatangan wisatawan mancanegara yang terkesan 'menjelimet'.
"Ketika orang menjual visa dengan harga tersebut, itu kan hilir ya. Sebenarnya yang dicari hulunya dulu. Mengapa orang berani menjual seperti itu? Karena menganggap aturan itu terlalu menjelimet sehingga orang mau sesuatu yang mudah tidak mau menjelimet akhirnya dia serahkan kepada agen visa itu untuk mengurus," tambahnya.
Dengan mengutus agen travel tersebut untuk mengurus visa, otomatis agen travel tersebut memerlukan biaya yang tinggi untuk itu.
Oleh karena itu, menurut pandangannya, permasalahan regulasi yang harus dipermudah. Sehingga orang-orang tidak akan bermain.
"Jadi sekarang visa ini dijual dengan harga mahal memang visa bisnis esensial. Bukan visa turis, tetapi bisnis esensial yang dipakai untuk visa kunjungan atau wisata. Kalau bisnis esensial persyaratannya seperti yang sudah sering kita bahas," katanya.
Baca juga: Praktik Mafia Visa di Bali: Ingin Jalur Cepat? Bayar Rp 5,5 Juta
Sementara untuk saat ini wisatawan mancanegara menggunakan visa wisata yang selama aturannya masih bisnis esensial maka mau tidak mau harus mengikuti aturan tersebut.
"Supaya tidak ada aturan itu ya otomatis Permenkumham 34 lah harus diubah supaya aturan itu tidak ada," jelasnya.
Ia mengaku tidak mengetahui siapa agen travel yang memainkan harga visa tersebut. Namun ia menegaskan, yang jelas agen travel yang sempat disebut oleh Pemerintah Provinsi Bali bukan anggota ASITA.
Kendati begitu, ia tidak menjamin bahwa tidak ada anggota ASITA yang memaninkan harga visa untuk wisman.
"Saya sih tidak berani menjamin karena ini kan yang namanya bisnis ya kan kita tidak bisa menjamin orang mau jualan berapa. Artinya harus ada etika yang di sana sehingga orang masih mau melihat, tetapi sebenarnya yang paling mudah adalah Permenkumham harus diubah. Gitu lho," katanya.
Kedepannya pihaknya akan mendorong agar e-visa benar-benar dapat diimplementasikan dan e-visa ini dapat di-apply oleh calon wisman dengan persyaratan yang mudah. (sar)
Baca juga: Sedang Nyaman di Jerman, Habibie Dipanggil Soeharto dan Mendarat Saat Jakarta Membara (1)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.