25 Warga Bali Terkatung-katung di Turki, Diduga Korban Human Trafficking Agen Ilegal
Dalam video berdurasi 15 detik terdapat pria dengan membawa koper mengeluh untuk bisa pulang ke Indonesia, mereka berbicara dalam bahasa Bali.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR- Sebanyak 25 warga Bali terkatung-katung di Turki. Hal itu terungkap dalam video yang ramai beredar di media sosial, Rabu (9/3).
Dalam video berdurasi 15 detik terdapat pria dengan membawa koper mengeluh untuk bisa pulang ke Indonesia, mereka berbicara dalam bahasa Bali.
"Engken ne bli iraga gelandangan di sisin rurunge, ije pertanggungjawabane ? Iraga ngidih besik apang mulih gen ke bali, de ye bekeline awake bayahin gen tiketne (Gimana nih bli kita gelandangan di pinggir jalan. Di mana pertanggungjawabannya? Kita cuma minta satu biar pulang aja ke Bali. Gak usah aku dibekalin, bayarin aja tiketnya, Red)," tutur pria yang belum diketahui identitasnya dalam video itu.
Usut punya usut mereka diduga korban human trafficking atau sindikat penyelundupan agen TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ilegal.
Kasus ini pun sudah bergulir di Polda Bali setelah dilaporkan pada 22 Februari 2022 lalu melalui Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT).
Terdapat dua orang terlapor dalam laporan LP/B/100/II/2022/SPKT/POLDA BALI itu, terlapor dengan inisial KPR (nama agen di Indonesia) dan SARR (Agen di Luar Negeri). Pelapor/korban NKT diminta menyetor uang sejumlah Rp 25 juta saat itu.
Kuasa hukum korban, I Putu Pastika Adnyana SH menjelaskan awal perjanjian kliennya sebelum berangkat ke TurkI untuk bekerja.
"Klien kami direkrut dan dijanjikan pekerjaan di Turki sebagai housekeeping dan mendapat fasilitas apartement serta klien kami telah membayar senilai Rp 25.000.000 dan dijanjikan apartement yang layak dipakai," ungkapnya kepada Tribun Bali, Rabu (9/3).
Lanjut Putu menuturkan, sesampainya di Jakarta saat pemeriksaan di Imigrasi, korban baru mengetahui jika diberangkatkan dengan visa Holiday, karena perjanjian di awal menggunakan visa kerja.
Lalu sesampai di Turki, klien/korban istirahat sehari dan keesokan harinya dipekerjakan di tempat yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh terlapor.
Bahkan ada beberapa teman lainnya yang dijanjikan bekerja di housekeeping tapi dipekerjakan di klub malam. Tempat tinggal dalam 1 mess ditempati puluhan orang dan tempat tidurpun bergantian yang membuat keadaan tidak nyaman untuk beristirahat.
"Video daripada korban di mana korban ini ditempatkan di dalam satu losmen yang berjumlah 25 orang di mana mereka harus bergantian untuk tidur, karena bed tidur mereka tidak cukup untuk 25 orang. Ada yang mereka terpaksa bekerja serabutan, ada yang sebagai cleaning service, pagi malam mereka bergantian tidur dengan temannya antara yang kerja pagi dan malam, miris sekali kondisinya," bebernya.
Dan sesampainya di Turki, korban dijanjikan membuat visa kerja, namun hanya mendapat visa holiday karena visa holiday sudah habis maka klien kami mencari ikamet sendiri dengan biaya pribadi. Para korban menuturkan, sesampainya di Turki kondisinya sangat memprihatinkan.
Sejumlah PMI yang diduga tertipu agen ilegal tersebut dipekerjakan tanpa kontrak, sesampainya di Turki mereka baru dicarikan pekerjaan tanpa kontrak yang jelas hingga kabur.
"Beberapa PMI yang mengadu kepada kami tidak bekerja dan selalu mendapatkan intimidasi maupun ancaman-ancaman sesuai dengan alat bukti dan barang bukti yang kami miliki," tuturnya.
Menurut keterangan beberapa korban, dijelaskan Putu dalam tekanan terlapor, dimana terlapor mensyaratkan dengan perjanjian bahwa terlapor akan memulangkan korban dengan syarat bahwa korban harus membuat pernyataan, tidak akan mempersoalkan terlapor atau melaporkan kejadian ini kepada pihak berwajib di Bali atau ke polisi.
"Otomatis mereka bekerja tanpa kontrak jelas dan si penerima kerja juga memperlakukan mereka tidak manusiawi dengan gaji di bawah standar. Akhirnya mereka kabur karena tidak betah. Ketika mereka kabur, selesai sudah tanggung jawab terlapor SARR Cs itu, dan itu yang mereka inginkan lalu merekrut lagi," paparnya.
Beredar video memperlihatkan 25 warga Bali yang terkatung-katung di Turki seperti gelandangan. Dalam video tersebut, memperlihatkan bagaimana kondisi tempat tinggal dari 25 warga Bali yang berada di Turki tersebut.
Pada video pertama yang diterima Tribun Bali, Rabu (9/3), memperlihatkan tempat yang kecil tak cukup untuk ditinggali 25 orang. Seorang yang merekam video tersebut berjalan memperlihatkan bagaimana kecilnya ruangan tersebut. Tempat tersebut diketahui memiliki dua ruangan yang berbentuk persegi panjang.
Di kamar pertama, terdapat dua orang, dimana satu orangnya tertidur menggunakan selimut. Mereka mengaku tidak bisa tidur lantaran berdesak-desakan akibat kecilnya ruangan yang ditempati.
Bahkan, salah seorang dalam video tersebut pun mengalah, memberikan kesempatan tidur bagi mereka yang bekerja pagi keesokan harinya.
“Kondisi seperti ini, teman saya yang kerja pagi, belum tidur, tidur sempit-sempitan,” tutur perekam video tersebut.
Terpisah, Kepala UPT Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Denpasar, Wiam Satryawan menegaskan, 25 orang asal Bali yang mulanya diduga sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) masih berstatus sebagai turis. Ia mengatakan, 25 orang tersebut informasinya merupakan warga Bali.
"Informasinya begitu (orang Bali) jumlahnya 25 orang. Ini sebetulnya prosedur awalnya mengarah ke perorangan. Jadi bukan agency, bukan PT, LPK jadi perorangan. Jadi ini sudah jelas pelanggaran hukumnya. Jadi seperti calo atau sponsor," ungkapnya, Rabu.
Dia mengatakan, sebetulnya untuk kasus pemberangkatan seperti ini tidak ada landasan hukumnya sama sekali, karena betul-betul nonprosedural.
Sementara itu tuntutan 25 orang ini hanya dipulangkan dan, yang bisa memulangkan adalah orang yang memberangkatkan mereka.
"Sebetulnya kasusnya karena ranahnya di luar negeri dan kita memiliki perpanjangan tangan di luar negeri, seperti KBRI. Seharusnya diurus di sana dulu. Yang penting melindungi mereka dulu di sana. Kalau masalah pemulangan dan lain-lain belakangan saja, yang penting mereka aman di sana. Saya sudah bersurat ke pusat terkait ini. Jadi wewenang untuk berhubungan ke Menteri pusat, bukan saya," tambahnya.
Dan ke-25 orang ini diduga pergi ke Turki menggunakan visa holiday (berlibur). Ini merupakan modus yang sering terjadi dan berulang-berulang terjadi.
"Harusnya paham lah. Masak mau kerja visanya holiday. Kejadian ini sudah terlalu sering dan beberapa kali. Nggak sadar-sadar juga. Kalau mau bekerja secara resmi, mencari lowongannya di lembaga yang memiliki surat izin pengerahan PMI. Ini yang tidak dilakukan oleh mereka dan mereka percaya begitu saja," katanya.
Wiam pun baru disurati oleh kuasa hukum salah satu dari 25 orang tersebut sekitar 3 hari lalu.
Sampai saat ini pihak keluarga dari 25 orang tersebut belum ada yang menghubungi BP2MI. BPM2MI Bali pun sama sekali tidak memiliki data dari 25 orang tersebut.
Menurutnya kasus ini masih sangat embrio, namun sudah dilaporkan ke Polda oleh salah satu kuasa hukum 25 orang tersebut. Wiam pun telah bersurat ke BP2MI Pusat dan masih menunggu.
"Posisinya menunggu surat dari pusat dan Balasan dari Kemenlu. Mereka belum PMI makanya saya bilang ini kasusnya kalau mau pulang ke orang yang memberangkatkan. Mereka belum PMI statusnya, masih turis yang akan dicarikan pekerjaan. Begitu modusnya. Jadi kamu diam di sini sebulan, saya carikan pekerjaan. Kepulangannya tidak melalui BP2MI di luar mekanisme pemerintah, karena penipuan," katanya. (ian/jun/sar)