Nyoman Parta: "Akal Waras Terganggu, Rakyat Lelah"
Negara yang seharusnya hadir melalui kebijakan-kebijakan pro rakyat justru malah terkesan kalah dengan mafia minyak goreng.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Anggota Komisi VI DPR RI, Nyoman Parta mengaku kecewa dengan sikap Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi dalam persoalan sengkarut harga minyak goreng.
Menurut dia, kebijakan yang diambil Mendag untuk mengembalikan harga minyak goreng ke mekanisme pasar tersebut merupakan kebijakan yang justru memberatkan masyarakat.
Menurutnya, kebijakan tersebut justru membuat masyarakat semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primernya, akibat melonjaknya kembali harga minyak goreng.
"Rakyat sudah sangat lelah dalam sengkarut minyak goreng ini. Lelah karena harus menyediakan uang lebih banyak untuk mendapatkan minyak goreng," ujarnya, Jumat (18/3).
Mantan Ketua Komisi IV DPRD Bali ini mengaku, kebijakan tersebut menjadi hal yang ironis.
Pasalnya, Indonesia sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia justru menjadi negara yang mengalami kelangkaan minyak goreng, sampai banyak masyarakat yang mengantre hanya untuk mendapatkan 1 liter minyak goreng.
"Lelah secara psikis. Karena akal waras kita dibuat sangat terganggu. Negara sebagai penghasil sawit terbesar di dunia. Sekali lagi penghasil sawit terbesar di dunia. Tapi terjadi kelangkaaan, terjadi antrean membeli.minyak goreng," ujarnya.
Selain itu, menurut dia, negara yang seharusnya hadir melalui kebijakan-kebijakan pro rakyat justru malah terkesan kalah dengan mafia minyak goreng.
"Rakyat lelah karena jauhnya nilai pengharapan dengan nilai kenyataan sebab konstisi kita Undang-undang Dasar RI Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara," tegasnya.
Namun, justru pemerintah terkesan tidak tegas dan loyo saat menghadapi kartel minyak goreng yang lebih mengutamakan ekspor daripada menjaga stabilitas di dalam negeri.
"Tetapi praktiknya kebutuhan negara lain diutamakan lewat ekspor CPO. Sedangkan kebutuhan dalam negeri diabaikan. Negara lain yang mendapatkan minyak rakyat sendiri yang sengsara," tandasnya.
Bahkan, kebijakan pemerintah yang mencabut ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) justru menjadi bukti kekalahan negara melawan kartel. DMO minyak sawit mentah.
Kebijakan DMO adalah aturan yang mewajibkan produsen minyak sawit menyetor produksinya kepada pemerintah untuk penuhi kebutuhan dalam negeri.
"Ketentuan ketentuan tentang DMO 20 persen yang diatur dalam Permendag No 6 th 2022 itu sudah bagus, tapi sayangnya belum serius dilaksanakan sudah dicabut dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 tahun 2022," akunya.
Melalui pencabutan tersebut, ia mengaku khawatir para pengusaha justru akan lebih mementingkan ekspor dibanding menjaga kebutuhan dalam negeri.
"Dengan dicabutnnya ketentuan tentang DMO, nanti apa alat pengontrol bagi eksportir CPO? Siapa yang menjamin mereka tidak ekspor semuanya dan mengabaikan kebutuhan dalam negeri," tanya dia.
Seperti diketahui, Menteri Perdagangan mencabut Permendag No 6 Tahun 2022 yang mengatur harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sawit. Dalam beleid itu, pemerintah mengatur HET minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan kemasan premium Rp 14.000 per liter. Sementara dalam aturan pengganti yang tertuang dalam
Permendag No 11 tahun 2022, HET minyak goreng curah jadi Rp 14.000 per liter dan harga kemasan premium diserahkan kepada mekanisme pasar. (gil)
Baca juga: Kisah Kolektor Kaset Pita di Tabanan Pernah Beli Patungan, Pakai Secara Gantian