Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisruh Pembebasan Lahan Tol Cisumdawu, Warga Ancam Berkemah di Tol

Ada 552 pemegang sertifikat tanah yang masih menanti-nanti pembayaran lahan yang sudah dipakai oleh proyek tol.

Editor: cecep burdansyah
zoom-in Kisruh Pembebasan Lahan Tol Cisumdawu, Warga Ancam Berkemah di Tol
TRIBUN JABAR/Kiki Andriana
TUNTUT GANTI UNTUNG Ratusan warga yang lahannya terdampak proyek Tol Cileunyi, Sumedang, Dawuan, mengikuti pertemuan dengan DPD RI dan sejumlah pejabat daerah, di Desa Pamekaran, Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Senin (21/3). Mereka mengancam akan berkemah di jalan tol jika ganti untung atas tanah mereka yang terkena proyek tol tak terwujud. 

TRIBUNNEWS.COM, SUMEDANG- Ratusan warga Kabupaten Sumedang mengancam akan berkemah di proyek Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu), jika Pemerintah Provinsi Jawa Barat tak kunjung menyelesaikan persoalan ganti untung atas tanah mereka yang dipakai proyek tol.

Ancaman akan berkemah di tol tersebut diungkapkan warga setelah mengikuti pertemuan dengan DPD RI dan sejumlah pejabat daerah, di Desa Pamekaran, Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Senin (21/3).

"Jika pemerintah mulai hari ini hingga 14 hari ke depan tidak menyepakati harga sesuai keinginan masyarakat, kami bakal berkemah, yasinan (membaca surah Yasin), dan memasang patok,"," kata Yayat (67), warga Desa Pamekaran, Kecamatan Rancakalong, Senin (21/3). 

Yayan mengatakan, ia dan ratusan warga lainnya telah menjadi korban tindakan sewenang-wenang para oknum petugas pemerintah yang bertugas menyelesaikan pembebasan lahan untuk Tol Cisumdawu pada kurun waktu 2010-2015.

Saat itu pembebasan lahan masih dilakukan Pemprov Jabar, belum diambil alih Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Saat itu, kata Yayat, penggarapan tanah untuk tol dilakukan lebih dahulu sebelum ada transaksi jual-beli.

Yayat mengalaminya sendiri. Yayat mengaku baru diajak bicara soal bayaran lima bulan setelah lahannya yang akan dipakai tol diratakan. 

Berita Rekomendasi

"Tanah saya seluas 1.378 meter cuma dibayar 240 meter. Saya hanya menerima Rp 322 juta. Itu pun dipotong Rp 700 ribu oleh oknum pejabat pembuat komitmen lahan, katanya untuk operasional. Saya merasa dijebak," ujar Yayat.

"Saya bicara ada bukti. Mohon diaudit saja mereka itu," lanjutnya.

Yayat mengatakan ada 552 pemegang sertifikat tanah yang masih menanti-nanti pembayaran lahan yang sudah dipakai oleh proyek tol.

"Jangan ada yang dirugikan," ujarnya.

Yayat mengatakan, tahun 2010-2015 adalah masa-masa mencekam bagi ratusan warga di tujuh desa di Sumedang, yakni Desa Ciherang (Sumedang Selatan) , Desa Margamukti (Sumedang Utara) , Desa Sirnamulya (Rancakalong), Desa Cigendel (Pamulihan), Desa Girimukti (Sumedang Utara) , Desa Margaluyu (Tanjungsari), dan Desa Pamekaran (Rancakalong).

Mereka dipaksa menjual tanah dengan harga murah. 

"Bilamana masyarakat tidak menyepakati harga yang ditetapkan pemerintah, nantinya barang hilang uangpun bakal hilang, lahan dan tanaman pun bakal dibuldozer oleh pemerintah, kata Yayat.

Supena (61), warga terdampak lainnya yang tinggal di Desa Ciherang, mengatakan setelah pembebasan lahan ditanganani PUPR pada 2016, keadaan tak langsung berubah. Pada tahun 2016, ujar Supena, lahannya dieksekusi sebelum ada akad jual beli. 

Ia mengatakan, pada forum-forum resmi, pemerintah kerap mengatakan soal tata cara pembebasan lahan. Namun, pada kenyataannya, tata cara itu sendiri yang dilanggar sendiri pemerintah. 

"Mana buktinya kalau memang mereka melaksanakan hal itu? Tidak ada undangan pengukuran tanah, harga ditetapkan sepihak tanpa negosiasi. Istilahnya jual beli paksa. Mau atau tidak mau? Kalau tidak mau, lahan hilang," ujar Supena.

"Katanya ditaksir apraisal, kami tak pernah kedatangan tim penaksir itu. Eh, kami malah dipersoalkan. Saya menghadapi 18 kali sidang di PN Sumedang, tak ada apraisal datang meski telah dipanggil untuk dimintai keterangan di pengadilan," katanya. 

Supena mengatakan rumahnya di Rancamaya, yang pembangunannya menelan biaya Rp 741 juta diganti dengan sangat murah. 

"Itu rumah kokoh, permanen tipe A. RAB-nya saja habis Rp 741 juta, eh malah dihargai Rp 150 juta," ujarnya melalui telepon, kemarin.

Supena mengatakan, warga sebenarnya sangat mendukung program pembangunan tol ini, asal ganti untung. 

Turun Tangan

Ketua DPD RI, La Nyalla Mahmud Mattaliti, mengatakan Pemprov Jabar dan Pemkab Sumedang harus secepatnya turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan pembebasan lahan ratusan warga yang terdampak pembangunan Tol Cisumdawu di Kabupaten Sumedang ini.

"Jika perlu saya nanti undang Kementerian PUPR," kata La Nyalla, saat menemui ratusan warga yang terdampak pembangunan tol ini di Dusun Cikeusik Desa Pamekaran, Kecamatan Rancakalong, kemarin.

La Nyalla khawatir, terus berlalurutnya masalah ini akan membawa persoalan hukum. 

"Pembayaraan dicicil, misalnya, kalau diteruskan bisa jadi masalah hukum. Sementara warga tidak mau menjadi masalah, yang penting bagi warga kan haknya dibayar," kata La Nyalla. 

Persoalan ganti rugi ini, ujar La Nyalla, seharusnya sudah selesai.

"Nanti koordinatornya juga bisa berkoordinasi dengan Pak Wabup (Wakil Bupati Sumedang, Erwan Setiawan)," kata La Nyalla. 

Dia mengatakan secara kelembagaan, DPD RI siap membantu warga Sumedang mendapatkan hak mereka kembali. 

"Kami mengawasi eksekutif. Harapan saya, jangan sampai ini jadi masalah hukum," katanya seraya meminta agar selama proses pengupayaan ganti rugi, warga juga bersabar. 

Tiga Persoalan

Anggota DPD RI asal Sumedang, Eni Sumarni mengatakan, DPD RI telah menerima laporan tentang persoalan ini sejak 7 Oktober 2020. Warga, menurut Eni, sudah mengeluh ke mana-mana.

"Bahkan sudah sampai ke Kementerian PUPR juga," ujarnya, kemarin.

Pada Oktober 2020, kata Eni, DPD RI sempat memanggil Pemprov Jabar dan Pemkab Sumedang.

Dari pertemuan itu didapat kesepakatan bahwa pada November tahun yang sama, persoalan selesai.

Namun, hingga kini, persoalan tak kunjung selesai. Warga tetap menuntun ganti untung atas lahan yang dipakai tol. 

Menurut Eni, ada tiga persoalan yang dihadapi warga tujuh desa di Sumedang ini.

Pertama, harga beli lahan oleh Pemerintah yang tak sesuai. Kedua, perbedaan ukur antara yang tertera pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dengan yang dibayarkan ganti oleh pemerintah.

Ketiga, ada diskriminasi harga pada lokasi tanah yang sama. Sebagian mendapatkan harga tinggi, sebagian harga tak sesuai bahkan cenderung rendah. 

"Kami tidak ingin lama-lama, tadi dari Pemprov Jabar minta waktu untuk konsultasi dengan Gubernur. Dua minggu, setelah dua minggu ini, kami akan tindak lanjuti lagi. Kami yakin Pak Gubernur juga mau karena tidak ada pemimpin yang mau melihat warganya menderita," katanya. 

Wakil Bupati Sumedang, Erwan Setiawan, mengaku sangat berterima kasih kepada DPD RI yang telah mempertemukan langsung warga dengan Pemprov Jabar, kemarin. Pertemuan itu diharapkan memberi solusi. 

"Kami harap agar titik temunya segera tercapai. Kami Pemkab Sumedang bisa secepatnya menyelesaikan persoalan. Kalau terus berlarut-larut, persoalan ini bisa berefek buruk terhadap daerah," kata Erwan. (kiki andriana).

Baca juga: Bobotoh Berharap Persib Berjuang Mati-Matian

Sumber: Tribun Bali
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas