Digeruduk Warga, Kejagung Pastikan Usut Tuntas Dugaan Korupsi Proyek Blast Furnance Krakatau Steel
Kejaksaan Agung RI menerima audiensi Aliansi Masyarakat Kota Cilegon untuk menanyakan penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
Pada 31 Maret 2011, lanjut Ketut, Krakatau Steel melakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik tersebut. Alhasil, dimenangkan oleh Konsorsium MCC Ceri dan PT. Krakatau Engineering.
Selanjutnya, Ketut mengatakan awalnya pendanaan pembangunan pabrik Blast Furnace dibiayai Bank ECA atau Eksport Credit Agency dari China. Dalam pelaksanaanya, ECA dari China tak menyetujui pembiayaan proyek itu karena EBITDA atau kinerja keuangan PT Krakatau Steel tak menuhi syarat.
“Pihak PT KS mengajukan pinjaman ke Sindikasi Bank BRI, MANDIRI, BNI, OCBC, ICBC, CIMB Bank dan LPEI,” jelas dia.
Adapun, kata Ketut, nilai kontrak pembagunan ini sekitar Rp6,9 triliun. Uang yang dibayarkan sebesar Rp5,3 triliun. Rinciannya, dari bank luar negeri senilai Rp3,5 triliun dan bank dalam negeri Rp1,8 triliun.
Pada 19 Desember 2019, Ketut mengatakan proses pembangunan dihentikan dengan alasan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar. Lalu, pekerjaan belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi alias mangkrak.
Padahal, Krakatau Steel membangun pabrik Blast Furnace tujuannya untuk meningkatkan produksi baja nasional yang dimulai dari 2011-2015 dan dilakukan beberapa kali addendum hingga 2019.
“Dilakukan pemberhentian tahun 2019, karena biaya produksi lebih tinggi dari harga slab di pasar,” ujarnya.
Atas dasar itu, Ketut menegaskan tim penyidik menduga adanya tindak pidana korupsi yang tertuang Pasal 2 Juncto Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2011 tentang Pemberantasan Tipikor.