Kominfo Libatkan Masyarakat dan Akademisi Palu Sosialisasikan RUU KUHP
Kementerian Kominfo mengatakan perwujudan negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehen
Penulis: Erik S
Editor: Johnson Simanjuntak
“Asas legalitas artinya tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada aturannya terlebih dahulu, jadi jika tidak ada di dalam KUHP, tidak dapat dipidana. Dengan RKUHP yang baru ini, kita tidak melihat lagi asas legalitas secara kaku,” jelasnya.
Sekarang ini berkembang asas legalitas terbaru yang bersifat materil yang dikenal dengan living law atau hukum yang hidup di dalam masyarakat. Jadi menurutnya, hukum bukan hanya apa yang kita lihat di dalam perundang-undangan, tetapi ada hukum yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat atau hukum adat.
Abdul Wahid mengemukakan bahwa RKUHP tidak menghilangkan atau mengurangi berlakunya hukum adat yang tidak tertulis di dalam Undang-Undang atau hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law), sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 RKUHP.
“Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Di beberapa daerah tertentu masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut, yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana,” jelasnya.
Menurutnya, untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana adat, perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang memuat mengenai hukum yang dikualifikasi sebagai tindak pidana adat, yang berasal dari Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum adat tersebut.
“Keadaan seperti ini tidak akan mengesampingkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Undang-Undang ini,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat yang dimaksud adalah hukum yang tidak diatur dalam Undang-Undang dan masih berlaku dalam tempat hukum itu hidup, serta sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Pujiyono, mengungkapkan bahwa hingga saat ini, sudah ada lima tindak pidana yang sudah dikeluarkan dari RKUHP, dari 14 isu krusial yang menjadi alasan tertundanya Sidang Paripurna pada 2019 lalu.
Pujiyono juga mengatakan bahwa pada saat dulu RKUHP dibuat memiliki misi tunggal yaitu dekolonisasi, tetapi kemudian berkembang menjadi demokratisasi, konsolidasi, adaptasi, dan harmonisasi.
“Ketika berbicara pembaharuan KUHP, pada hakikatnya bukan pembaharuan norma, tetapi pembaharuan sistem nilai, atau pembaharuan ide dasar. Karena KUHP yang kita miliki saat ini sebetulnya berdasarkan pada ide dasar individualis liberal yang bertentangan dengan konsep ide dasar kita yaitu monodualistik,” jelasnya.
Ia mengatakan bahwa di dalam RKUHP menganut asas keseimbangan, salah satunya adalah asas keseimbangan penentuan tindak pidana.
“Sangatlah naif ketika kita menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana hanya yang bersumber dalam KUHP, sedangkan masih banyak perbuatan yang merupakan tindak pidana tetapi tidak tertampung di dalam Undang-Undang,” ungkapnya.
“Apakah perbuatan yang demikian itu secara realitas bukan sebagai sebuah tindak pidana? Oleh karena itulah kemudian di dalam rangka penentuan tentang tindak pidana tidak hanya berdasar pada Undang-Undang yang formal, tetapi juga hukum yang hidup di dalam masyarakat atau living law,” lanjutnya.
Selain itu, pada pembaharuan RKUHP, perumusan tindak pidana tidak lagi secara tegas mencantumkan unsur ‘dengan sengaja’. Menurutnya, semua tindak pidana diasumsikan dilakukan dengan sengaja, kecuali ditentukan bahwa itu sebagai dolus, maka itu dicantumkan di dalamnya.
Pujiyono juga menegaskan bahwa dalam memahami RKUHP jangan hanya membaca Buku II, tetapi konsep ide dasar pembaharuannya justru ada di Buku I, karena pada dasarnya hukum pidana terdiri dari dua inti yaitu value dan norma.