Nyali Pemuda di Boyolali Produksi Gamelan, Buka Lapangan Kerja, Tepis Stigma Tak Modern
Di usia yang relatif muda, Fajar sukses membangun usaha produksi gamelan yang ia rintis secara mandiri sekitar 3 tahun lalu.
Penulis: Daryono
Editor: Pravitri Retno W
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Daryono
TRIBUNNEWS.COM – “Buka usaha kok gamelan, kok nggak (usaha yang) modern.” Demikian cibiran yang diterima Lilik Dwi Fajar Riyanto kala awal-awal merintis usaha produksi gamelan di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, sekitar 3 tahun lalu.
Cibiran itu datang dari sebagian kawannya, sesama anak muda.
Menerima cibiran itu, Fajar, demikian ia akrab disapa, tidak memedulikannya.
“Cibiran itu saya jawab santai sambil guyonan.’Daripada kamu, anak muda tidak punya usaha’. Kadang saya balas begitu,” kata Fajar saat ditemui di rumah produksi gamelan miliknya di Malangan RT 14 RW 3 Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Selasa (27/12/2022).
Cibiran itu nyatanya justru ia jadikan motivasi.
"Mereka belum tahu saja nikmatnya usaha gamelan. Untung dari usaha gamelan itu tidak ada ukuran pasti. Beda dengan jual alat musik lainnya yang harganya dengan mudah bisa dicek di marketplace," ujarnya.
Di usia yang relatif muda, Fajar sukses membangun usaha produksi gamelan yang ia rintis secara mandiri sekitar 3 tahun lalu.
Pemuda yang kini berusia 31 tahun ini menjual gamelan ke berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Tak jarang, pesanan juga datang dari luar Jawa.
Dari menjual gamelan ini, omzet usahanya minimal Rp 100-150 juta setahun. Bahkan ia pernah menerima pesanan gamelan sebanyak 7 set dari Kabupaten Purbalingga dengan nilai transaksi hingga Rp 1,4 miliar.
Gamelan-gamelan itu didatangkan Fajar dari sejumlah UKM perajin gamelan di Kecamatan Bekonang, Kabupaten Sukoharjo dalam bentuk setengah jadi.
Setelah itu, Fajar melakukan proses finishing dan memasarkannya.
“Di sini hanya finishing. Karena tanah di sini belum cocok untuk pembuatan gamelan. Tanah untuk pembuatan gamelan harus tekstur tanah liat, sedangkan tanah di daerah sini tanah berpasir. Jadi kualitasnya kurang bagus kalau untuk proses pembuatan gamelan,” ujar dia.
Fajar melayani pemesanan gamelan baik untuk bijian maupun satu set.
Ada tiga jenis bahan gamelan yakni besi, kuningan, dan perunggu.
Untuk gamelan berbahan besi yang biasanya banyak dipesan untuk praktek karawitan di sekolah, dibanderol dengan harga Rp 60 juta per set.
Sedangkan untuk gamelan kuningan lebih mahal yakni minimal Rp 250 juta per set.
Paling mahal yakni gamelan perunggu yang dijual dengan harga Rp 400 juta per set.
Meski kini menjadi pengusaha, Fajar tidak lahir dari keluarga pengusaha.
Ayahnya berprofesi sebagai sopir truk ekspedisi. Sementara ibunya seorang ibu rumah tangga biasa.
Keberanian Fajar membuka usaha produksi gamelan tidaklah datang dengan tiba-tiba.
Sebelum membuka usaha produksi gamelan secara mandiri, Fajar sudah “magang” mengelola usaha produksi gamelan selama 10 tahun.
Cerita bermula saat Fajar yang masih duduk di bangku SMK dikenalkan dengan Suwaldi, seorang pemilik usaha produksi gamelan di Boyolali.
Perkenalan pada tahun 2008 itu berujung hubungan yang dekat hingga Fajar dijadikan anak angkat.
Oleh Suwaldi, Fajar diminta membantu mengelola usaha produksi gamelan miliknya.
“Pulang sekolah, saya membantu beliau mengecek ketersediaan stok yang habis apa, cek bahan apa yang harus dibeli. Diajak ke dinas-dinas tertentu yang di situ ada pengadaan gamelan. Kami mengajukan company profile, mengajukan keunggulan dari usaha gamelan beliau. Jadi, intinya saya membantu mengelola usaha produksi gamelan beliau,” bebenya.
Hal itu terus berlanjut hingga Suwaldi meninggal dunia pada 2018 silam. Setelah Suwaldi meninggal dunia, usaha produksi gamelan yang dikelola Suwaldi berhenti lantaran tidak ada keluarganya yang mau meneruskan. Kondisi itu kemudian mendorong Fajar untuk meneruskan usaha produksi gamelan secara mandiri dari nol.
“Saya mendirikan CV sendiri, mulai dari nol lagi tetapi dengan jalur yang sudah diberikan oleh beliau (Suwaldi,-Red). Pekerja dari beliau yang masih mau bekerja saya libatkan,” ungkap pria yang baru menikah setahun ini.
Usaha produksi gamelan Fajar itu dibuka pada awal 2019 dengan modal Rp 50 juta.
Uang itu berasal dari tabungan yang ia sisihkan selama membantu ayah angkatnya selama 10 tahun.
Modal Rp 50 juta itu ia gunakan untuk mengontrak rumah sebagai rumah produksi gamelan serta membuka usaha laudry.
“Fokus usahanya memang gamelan. Tapi karena usaha gamelan penghasilannya tidak setiap hari, akhirnya memutar otak untuk membuka usaha laundry yang penghasilannya bisa untuk harian,” kata sarjana lulusan Sekolah Tinggi Hindu Dharma (STHD) ini.
Misi melestarikan budaya hingga membuka lapangan kerja
Bagi Fajar, membuka usaha produksi gamelan bukan sekedar mendapatkan untung. Namun, melalui produksi gamelan, Fajar juga berharap bisa ikut melestarikan budaya Jawa yang saat ini sudah banyak ditinggalkan, terutama oleh anak-anak muda.
“Setelah beliau (Suwaldi,-red) meninggal, saya mulai berpikir eman-eman (sayang) kalau ilmu yang diberikan beliau tidak digunakan. Saya pikir, kalau anak muda tidak meneruskan usaha gamelan ini, siapa lagi. Anak muda lebih mencintai budaya luar sehingga budaya tradisi sudah sangat jarang digeluti. Itu yang menjadi motivasi saya untuk melanjutkan,” jelasnya.
Fajar meyakini, usaha produksi gamelan bakal tetap prospek kedepannya. Musik gamelan pun bisa dipadupadankan dengan musik modern.
“Optimis saya begini, negara tidak akan kehilangan jati diri. Anak muda itu mau tidak mau harus melestarikan. Kalau nggak anak muda siapa lagi. Saya pun di lingkup pemuda selalu mengajak, ayo kita lestarikan budaya kita. Boleh mencintai produk budaya lain tetapi jangan dilupakan budaya asli dari kita,” bebernya.
Tak hanya menjadi sumber penghidupan bagi Fajar, usaha produksi gamelan di bawah bendera CV Berkah Bopo ini juga menjadi tumpuan hidup bagi orang lain.
Sebanyak 9 orang yang sebagian besar di antaranya merupakan pemuda-pemuda lulusan SMP dipekerjakan sebagai karyawan.
Listyanto, salah satu karyawan Fajar mengatakan telah bekerja memproduksi gamelan bersama Fajar selama lima tahun.
Awalnya, ia bekerja sebagai karyawan ayah angkat Fajar, Suwaldi.
“Ketika Pak Suwaldi meninggal, usaha gamelannya sudah tidak dilanjutin keluarganya. Terus saya mulai ikut Pak Fajar,” kata Listyanto, Kamis (29/12/2022).
Selain gaji, Listyanto juga mendapat uang lembur saat pesanan sedang meningkat.
Pemuda 28 tahun ini mengaku betah bekerja dengan Fajar karena selain gaji yang diperoleh cukup memadai, ia juga diperlakukan dengan baik sebagai karyawan.
“Selain karena pekerjaanya tidak berat, Pak Fajar orangnya ngerti sama karyawan. Berbeda dari yang lain-lain. Sifatnya merangkul,” ungkap pemuda asal Sawit, Boyolali ini.
Bangkit dari terpaan pandemi, diganjar penghargaan
Tak berbeda dengan banyak usaha lainnya, usaha produksi gamelan Fajar juga terdampak Pandemi Covid-19.
Badai Pandemi itu datang saat usaha produksi gamelan Fajar baru berjalan sekitar satu tahun.
Sebelum Pandemi, Fajar sudah menerima banyak order.
Karena adanya Pandemi, sejumlah pemesan yang mayoritas berasal dari instansi pemerintah dikurangi secara mendadak karena adanya pengalihan anggaran pemerintah untuk penanganan Covid-19.
“Pekerjaan saya kan banyak dari dinas-dinas. Pemerintah sudah order, tiba-tiba ada pandemi sehingga beberapa anggaran dipangkas untuk Covid. Dari situlah yang awalnya order 10, akhirnya order 5. Padahal kita sudah ready 10. Akhirnya yang 5 ini mangkrak,” ungkapnya.
Akibat Pandemi, omzet Fajar menurun drastis hingga tinggal 30 persen.
Pukulan terberat itu ia rasakan pada gelombang pertama Covid-19.
Lantaran pendapatannya menurun drastis, Fajar pun terpaksa merumahkan sementara separuh karyawannya.
Keputusan ini ia ambil agar usahanya tetap berjalan.
“Usaha gamelan tetap jalan, tapi saya mengurangi karyawan yang biasa saya pekerjakan. Saya kurangi jadi separuhnya. Yang saya pakai tetap karyawan inti. Sisanya saya kasih pengertian kalau keadaanya seperti ini dan pekerjaan harus jalan, mau tidak mau harus mengurangi karyawan,” ujarnya.
Setelah diterpa Pandemi, perlahan usaha produksi gamelan Fajar berangsur-angsur membaik.
Omzetnya saat ini sudah naik mesti belum 100 persen seperti saat sebelum terjadinya pandemi.
Para pekerja yang sempat ia rumahkan juga sudah diperkerjakan kembali.
“Sekarang karyawan sudah balik. Omzet sekarang sudah membaik, sudah ke 70 persen. Belum 100 persen memang karena masih ada pemotongan anggaran untuk Covid-19,” ujarnya.
Tak hanya diterpa Covid-19, Fajar juga mengalami berbagai kendala dan tantangan dalam mengembangkan usahanya.
Mulai dari pernah merugi, pembayaran yang molor hingga pesanan tidak dibayar.
Namun, hal itu tidak membuatnya menyerah.
Fajar juga harus pandai-pandai mengatur modalnya lantaran usaha produksi gamelan membutuhkan modal besar.
Pasalnya, sebagian sebagian pesanan gamelan datang dari instansi yang hanya berbekal surat kontrak dan tanpa uang muka di awal.
“Yang cukup terasa itu saat ada pesanan, tetapi tidak ada uang muka. Jadi kita harus mencukupi lebih dulu. Kadang kita harus cari-cari pinjaman ke berbagai lembaga pembiayaan,” ungkapnya.
Atas usahanya membuka lapangan pekerjaan serta melestarikan budaya, Fajar mendapatkan penghargaan dari PT Astra Internasional Tbk.
Ia terpilih sebagai penerima apresiasi Satu Indonesia Awards Tingkat Provinsi pada 2021 lalu.
Fajar mengaku, awalnya ia tidak percaya saat dinyatakan sebagai pemenang.
Hal ini karena ia baru pertama kali mengikuti kompetisi itu.
Selain itu, materi yang ia tampilkan juga tidak sebagus peserta lain yang menurutnya lebih berpengalaman.
“Di situ saya menyampaikan bagaimana cara anak muda mau melestarikan budaya Indonesia terutama di gamelan dan menonjolkan bagaimana kita sebagai pemuda supaya mempunyai pemikiran untuk tidak bergantung sama orang lain. Kita sebagai pemuda harus bisa membuat lapangan pekerjaan sendiri,” pungkasnya. (*)