Bentara Budaya Yogyakarta Gelar Pameran Tunggal Herman 'Gus Her' Widianto, 21-28 Juli 2023
Pembukaan pameran tunggal bertajuk 'Gambar di Pinggir Kata' ini akan dilaksanakan 21-28 Juli 2023 di Bentara Yogyakarta.
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Bentara Budaya Yogyakarta menggelar pameran tunggal Herman 'Gus Her' Widianto, 21-28 Juli 2023.
Pembukaan pameran tunggal bertajuk 'Gambar di Pinggir Kata' ini akan dilaksanakan pada Jumat (21/7/2023) pukul 19.00 WIB.
Gus Her mengatakan, persiapan pameran ini berproses sejak awal 2023.
Lalu pada bulan Mei lalu, ia mendengar kabar 'duka', toko Gunung Agung, perintis toko buku dan alat tulis di Indonesia, menutup seluruh toko dan outlet-nya.
"Tetapi bukankah gejalanya sudah kita rasakan sejak beberapa tahun sebelumnya; ruang toko sepi, detak penjualan yang melemah, sehingga perusahaan (bukan hanya Gunung Agung) mengalami “malnutrisi”, profit jatuh kapital tergerus," ungkapnya.
Peristiwa ini memuncaki kejadian-kejadian sebelumnya; beberapa toko buku tutup, media cetak bertumbangan, majalah/koran yang mencoba bertahan nampak mengalami “stunting”, halaman semakin tipis mengkuatirkan.
Baca juga: Bentara Budaya Gelar Pameran NFT RE-IDENTIFY, Gabungan Seni Konvensional dan Teknologi Digital
Kabar baiknya atau tepatnya kabar buruknya Indonesia tidak sendirian, banyak negara-negara mengalami situasi ini.
"Sebagai yang pernah menikmati asyiknya membaca buku, berpetualang dari satu toko buku ke toko buku, dari perpustakaan ke perpustakaan, dan sikap membaca yang cenderung romantik, situasi ini menimbulkan perasaan yang sangat tepat dikatakan dalam bahasa Jawa: semedhot," ujarnya.
Lanjutnya, mengutip komentar Goenawan Mohammad tentang era MedSos: “Kita adalah masyarakat dari masa lalu yang enggan membaca, masuk ke era dengan sikap menolak membaca (buku)”.
Sebuah zaman sewaktu manusia lesap ke dalam potongan-potongan kalimat remeh-temeh dunia MedSos.
"Sejarah buku/media cetak sudah selesai? Saya tidak tahu. Barangkali itu sekedar pertanyaan sentimentil, sebuah keluh-kesah belaka," ujarnya.
Tetapi pameran ini bukan dalam rangka mengekspresikan secara visual roso dhot-semedhot itu.
Pameran ini tentang pengalaman membaca buku-buku yang sukses menimbulkan rasa gembira, asyik-masyuk, cengang, haru.
Titik berangkatnya adalah sewaktu menengok kembali ke belakang proses berkreasi di dunia seni rupa (sejak 2007), banyak karya-karya visual saya ternyata terpengaruh oleh pengalaman membaca.
Oleh sebab itu dalam pameran ini sengaja dipajang karya bartahun 2020: “Ulam” sewaktu Gus Her ditakjubkan oleh buku “The Grand Design (Rancang Agung)”, Stephen Hawking.
Atau lukisan bertahun 2019: “Firefly. Bantargebang Series”, terinspirasi dari “The Turning Point (Titik Balik Peradaban), Fritjof Kapra.
Dan di tahun ini lukisan “Babad Sang Kala”––dengan latar belakang nampak seperti bentuk tanda-tanya (“?”)––tersinspirasi oleh buku “A Brief History of Time” (walaupun buku fisika ini ditujukan untuk orang awam, Gus Her yang berlatar belakang seni rupa, membacanya dengan tertatih-tatih).
Karya ini mencoba menarasikan perjalanan manusia menjabar, mengukur, mempersepsi, menalar hakikat realitas––tetapi “homo-sapiens” sebobot Stephen Hawking pun berhenti di tubir jurang maha luas tak berdasar, gelap-gulita, berhalimun tebal.
“Realitas fisika” selalu luput didiskripsikan bahkan dengan bahasa matematika.
Dan lukisan “Lawang Seketeng” inspired by “The Name of The Rose” (1980), karangan Umberco Eco seorang pakar sejarah abad pertengahan dan semiotika.
Sebuah buku yang tidak mudah dibaca; padat tanda, sehimpun sanepo, enigmatik, dan banyak halaman dikepyuri frase-frase bahasa latin dengan konteks sejarah abad pertengahan, sehingga saya membutuhkan buku pendamping, “The Key to The Name of The Rose” untuk mengikuti jalan cerita.
Sudah barang tentu ada perbedaan, meskipun gradual, pada karya-karya lama dengan yang mutakhir.
Pada karya lama terlihat bentuk masih realistik, ada usaha menampilkan objek representatif (nampak jelas pada lukisan berjudul “Ulam”: image Yesus dari lukisan Leonardo da Vinci, “Salvatore Mundi” yang didistorsi).
Sementara lukisan dengan judul “Nginjen” bertahun 2023, bentuknya sudah meluruh, merenyek.
"Akhirnya di pameran tunggal kedua ini saya ingin mengucapkan doa sekaligus magic word: Viva il libro!" pungkasnya.
(Tribunnews.com)