Cerita di Balik Desa di Kediri Larang Aparat Pemerintah, TNI-Polri hingga Priyayi Masuk
Aturan mengenai larangan aparat dan priyayi untuk masuk itu tertera di depan gang. Kepercayaan itu terbangun dari sebuah cerita turun-temurun.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, KEDIRI - Dusun Setono, Desa Tales, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri belakangan ini menjadi pembicaraan hingga viral di sosial media.
Desa tersebut memiliki larangan unik dan dipertahankan hingga saat ini.
Adapun, dusun di Kediri itu melarang aparat dan priyayi masuk ke dalam.
Baca juga: Daftar Deretan Pensiunan Jenderal TNI-Polri yang Nyaleg di Pemilu 2024, Perindo Paling Banyak
Diketahui, aturan tersebut telah diberlakukan sejak dahulu.
Hingga saat ini, masyarakat setempat masih mematuhi aturan unik itu.
Aturan mengenai larangan aparat dan priyayi untuk masuk itu tertera di depan gang.
Dusun Setono berada di Desa Tales, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Di depan gang dusun, tertera aturan yang melarang priyayi dan aparat masuk ke dalam.
"Priyayi BB Aparatur pemerintah/TNI/ Polri Dilarang Masuk," demikian yang tertulis dalam papan.
Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Desa Tales Slamet Raharjo.
Baca juga: Profil 8 Mantan Perwira TNI/Polri yang Kini Jadi Caleg PDIP, Eks Kapolda hingga Pangdam
Ia mengatakan bahwa larangan tertulis tersebut telah berlaku sejak dahulu.
Bukan tanpa alasan, aturan tersebut berkaitan dengan kearifan lokal dan kepercayaan warga.
"Pejabat yang melanggarnya dipercaya akan lengser atau terkena musibah," ujar Slamet Raharjo seperti dilansir Surya.co.id dari Kompas.com.
Kades mengungkapkan, kepercayaan itu terbangun dari sebuah cerita turun-temurun oleh pendiri desa.
Dahulu, kata dia, ada seorang putri bernama Ambarsari yang hendak dipinang oleh seorang pejabat.
Ambarsari yang menolak lalu melarikan diri dan bersembunyi di dusun itu.
Untuk melindungi diri, Ambarsari berujar bahwa siapa pun pejabat yang masuk kawasan dusun akan menerima konsekuensi, salah satunya perihal karir.
Meski demikian, kata Kades, larangan itu hanya berlaku pada aparat dan pejabat dengan jabatan tinggi saja.
Seperti golongan pemerintahan setingkat camat ke atas, golongan keamanan mulai dari kepala kepolisian sektor (Kapolsek) ke atas, serta komandan koramil ke atas untuk militer.
Sehingga untuk jabatan seperti dirinya selaku kepala desa, masih tetap leluasa keluar masuk wilayah dusun Setono untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya.
"Kalau saya kan masih di bawah camat, jadi enggak apa-apa," ungkapnya.
Sekretaris Kecamatan Ngadiluwih Nadlirin mengatakan, layanan pemerintahan di wilayah Dusun Setono tetap berjalan baik, meski adanya larangan turun-temurun tersebut.
"Aktivitas dan layanan tetap berjalan. Tinggal menyesuaikan saja," ujar Nadlirin, Rabu (23/8/2023).
Dia mencontohkan, penyelesaian yakni dengan mendelegasikan tugas-tugas camat yang berhubungan dengan wilayah tersebut kepada pegawai di bawahnya.
Sedangkan koordinasi bisa dilakukan di balai desa.
Baca juga: KPU Butuh Armada dan Peralatan TNI-Polri Untuk Distribusi Logistik Pemilu ke Daerah Rawan Konflik
Pihaknya tetap menghormati kepercayaan masyarakat.
Dia menilai hal itu sebagai salah satu kekayaan tradisi dan kearifan lokal yang harus tetap dipelihara.
"Itu sekaligus sebagai pengingat bagi kita semua abdi negara agar senantiasa membawa diri dengan baik dan menjauhi sikap-sikap tercela." pungkasnya.
Kehilangan Jabatan atau Sakit
Dusun Setono di Desa Tales, Kecamatan Ngadiluwih, melarang pejabat memasuki wilayah dusunnya.
Masyarakatnya juga percaya jika aturan itu dilanggar maka akan ada konsekuensinya.
Biasanya adalah kehilangan jabatan atau jatuh sakit.
Larangan itu bahkan terpampang dalam sebuah plakat yang dipasang di pintu gerbang masuk sebuah gang di dusun tersebut.
Kepala Bidang Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri Eko Priyatna mengatakan, larangan itu sudah dikenal sejak zaman Belanda, yaitu dengan istilah verboden voor binnenlands bestuur atau larangan masuk bagi pegawai negeri.
"Jadi di wilayah itu para pegawai pejabat dilarang masuk," ujar Eko Priyatna kepada Kompas.com, Rabu (23/8/2023).
Selain di Dusun Setono yang ada di Desa Tales, aturan seperti itu rupanya juga berlaku di wilayah lainnya di Kabupaten Kediri, yakni di Dusun Gempol Garut yang ada di Desa Toyoresmi, Kecamatan Ngasem.
Latar belakang terbitnya aturan di dua tempat itu berbeda.
Pada Dusun Setono dilatarbelakangi oleh kisah asmara, yaitu penolakan seorang putri terhadap priyayi yang meminangnya.
Putri yang konon bernama Ambarsari itu kemudian melarikan diri dan bersembunyi di wilayah Setono.
Untuk melindungi tempat persembunyiannya, dia berujar bahwa siapapun priyayi yang masuk wilayah persembunyiannya akan lengser dari jabatannya.
Sedangkan di Dusun Gempol Garut, Eko Priyatna mengatakan, pelarangannya dipicu oleh pembangkangan warga terhadap pemerintahan penjajahan Belanda.
Masyarakat saat itu menolak aturan-aturan yang dibuat Belanda, misalnya soal tarikan pajak atau hal lainnya yang memberatkan warga.
"(Aturan di) Toyoresmi sebagai wujud penolakan atas pemerintahan yang berbau Belanda.
Masyarakat tidak setuju, sehingga ada ujaran pejabat masuk sana akan lengser," lanjutnya.
Cerita yang melatarbelakangi aturan tersebut, menurut Eko, tidak masuk pada ranah sejarah melainkan cenderung mitos.
Atau tepatnya gugon tuhon, yakni suatu tradisi yang diingat dan dipertahankan di masyarakat setempat secara lisan.
"Bukan ramah sejarah, lebih cenderung ke mitos atau bahasa Jawanya gugon tuhon," kata Eko.
Gugon tuhon itu sendiri, menurutnya, merupakan khasanah budaya yang keberadaannya dilindungi oleh regulasi, yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Terhadap dua gugon tuhon yang ada di Kabupaten Kediri itu, pihaknya telah memasukkannya sebagai Obyek Pemajuan Kebudayaan (OPK) dan telah terdata pada Pokok-pokok Pemajuan Kebudayaan Daerah (PPKD).
Baca juga: Puluhan Aparat TNI-Polri Datangi Lokasi Kericuhan Diskusi Selamatkan Partai Golkar di Senayan
Pandangan Ahli
Dalam papan tersebut tertulis "Priyayi BB" juga dilarang masuk.
Kepala Bidang Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri Eko Priyatna mengatakan, istilah Binnenlands Bestuur atau biasa disingkat BB mempunyai arti birokasi pemerintahan dalam negeri pada masa kolonial Belanda yang terdiri atas orang-orang Eropa.
Sehingga priyayi BB pada larangan itu bisa diartikan sebagai golongan-golongan ningrat yang berasal dari status kepegawaiannya di pemerintahan.
Eko membenarkan bahwa wilayah Dusun Setono sejak dulu memang kawasan larangan masuk bagi pegawai negeri.
"Itu sejak jaman Belanda. Disebut Werboden Voor Binnenlands Bestuur atau larangan masuk bagi pegawai negeri," ujar Eko Priyatna, Rabu (23/8/2023).
Namun perihal kisah yang melatarbelakangi larangan itu, menurutnya, lebih cenderung pada mitos.
Yakni suatu tradisi yang diingat dan dipertahankan di masyarakat setempat.
Meski bukan bagian dari sejarah, kata Eko, tradisi itu juga bagian dari hal yang dilindungi oleh perundangan, yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.
"Dan tradisi di Dusun Setono itu sudah kami masukkan pada data Pokok-pokok Pemajuan Kebudayaan Daerah (PPKD)," kata dia.
Selama ini Dusun Setono juga dikenal sebagai kawasan wisata religi.
Banyak warga mengunjungi makam dan petilasan Putri Ambarsari yang ada di lokasi tersebut. (Tribunnews.com/Surya.co.id/Kompas.com)