Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kasus Siswi di Lamongan Dicukur Pitak Berbuntut Panjang, Sang Guru Nonjob hingga Panen Kecaman

REP, kata Munif, sementara sebagai staf di Diknas Lamongan dalam rangka pembinaan. Jadi tidak ada jabatan atau nonjob.

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Kasus Siswi di Lamongan Dicukur Pitak Berbuntut Panjang, Sang Guru Nonjob hingga Panen Kecaman
dok. Tribun Jatim
Mediasi kepala sekolah SMPN Sidodadi 1 Lamongan antara orangtua siswa dan ibu guru EN atas insiden pembotakan rambut siswa perempuan karena tidak mengenakan ciput di kerudung yang dikenakan menjelang pulang sekolah. 

TRIBUNNEWS.COM, LAMONGAN - REP, guru di SMP Negeri 1 Sukodadi Lamongan botaki 19 siswi perkara mereka yang berhijab tidak mengenakan dalaman kerudung atau ciput.

Kepala SMPN 1 Sukodadi Harto menyebut, kejadian ini bermula saat siswa kelas IX hendak pulang, Rabu (23/8/2023).

REP memperingatkan para siswi untuk mengenakan dalaman kerudung.

Baca juga: FSGI: Tindakan Guru Gunduli Siswi Karena Tidak Pakai Ciput Langgar HAM

Namun ada sejumlah siswi yang tidak pakai ciput saat pulang, dan REP melakukan pembotakan itu.

Harto juga menyebut, maksud dari pembotakan itu pun disebut karena REP terlalu sayang kepada para siswi.

"Entah terlalu sayang (kepada siswi) atau seperti apa, kemudian Bu EN (REP) melakukan itu (pembotakan). Hanya saja pakai alat (cukur) yang elektrik, makanya ada yang rambutnya hingga kena banyak," ujar Harto, ketika dihubungi, Senin (28/8/2023).

Beberapa orang siswi yang mendapat perlakuan tersebut, kemudian melapor kepada orangtua masing-masing.

Berita Rekomendasi

Guru REP minta maaf dan akhirnya mendapat teguran.

Baca juga: Guru SMP di Lamongan Gunduli Siswa karena Jilbabnya Tak Pakai Ciput, Jelang Bubaran Sekolah

Selanjutnya, didampingi Harto, guru REP berinisiatif mendatangi rumah para siswi untuk meminta maaf.

"Penuturan Bu EN itu ada sekitar 19 siswi (yang dibotaki). Kami datangi rumah mereka untuk minta maaf, tapi belum semuanya hari sudah malam, dilanjutkan mediasi di sekolah pada esok paginya," ucap Harto.

Bu Guru Tak Lagi Mengajar

Kasus guru botaki 19 siswi kelas IX SMP Negeri 1 Sukodadi direspon Kepala Dinas Pendidikan Lamongan, Munif Syarif.

Munif tidak mengelak dengan insiden yang dilakukan oleh oknum guru, REP pada 23 Agustus lalu.

"Kita sudah tarik dan stafkan di Diknas, tidak lagi mengajar," kata Munif saat dikonfirmasi SURYA, Selasa (29/8/2023) siang.

REP, kata Munif, sementara sebagai staf di Diknas Lamongan dalam rangka pembinaan. Jadi tidak ada jabatan atau nonjob.

Menurut Munif, seharusnya yang menindak siswa itu menjadi tanggungjawab guru bimbingan konseling (BK) bukan guru mata pelajaran.

Ia menyayangkan tindakan guru tersebut. Sedangkan oknum guru yang menurut Munif dalam proses pembinaan belum bisa dipastikan sampai kapan.

"Sementara ini kita stafkan," katanya.

Menyikapi siswa, guru berkewajiban memperbaiki karakter anak didik. Dan menciptakan proses belajar anak itu menyenangkan.

Bagaimana dengan orang tua siswa yang menjadi korban ? Menurut Munif, sehari setelah peristiwa antara orang tua siswa dengan guru dan pihak sekolah.

Menurutnya, antara siswa, orang tua murid dengan pihak sekolah sudah selesai, damai.

Apa yang terjadi di SMP Negeri 1 Sukodadi bagi Munif harus menjadi pembelajaran bagi semuanya.

Bagaimana siswa yang menjadi korban arogansi si guru ? para siswi tetap masuk sekolah dan mengikuti proses belajar mengajar seperti biasa.

Baca juga: Sosok Guru SMP di Lamongan yang Botaki 19 Siswi Tak Pakai Ciput, Sudah Minta Maaf, Tak Boleh Ngajar

Dikecam LBH Surabaya

LBH Surabaya mengecam keras aksi pembotakan rambut terhadap 19 orang siswi kelas IX SMPN 1 Sukodadi Lamongan, Jawa Timur, yang dilakukan oleh oknum guru EN (REP) pada Rabu (23/8/2023).

Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye LBH Surabaya, Habibus Shalihin mengatakan, salah satu perwujudan prinsip 'The Right to Survival and Development' atau hak untuk hidup dan berkembang bagi anak adalah setiap anak memperoleh hak atas pendidikan.

Termasuk ketika anak berada di dalam lingkungan satuan pendidikan agar terhindar dari tindak kekerasan fisik maupun psikis yang berpotensi dilakukan oleh elemen-elemen yang ada pada lingkungan satuan pendidikan, seperti pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain .

Mereka menilai, aksi pembotakan terhadap para siswi di SMPN 1 Sukodadi Lamongan, menunjukkan upaya perlindungan anak dari kekerasan fisik berakibat pada kondisi psikis anak yang menjadi korban tindakan pembontakan rambut bagian depan yang dilakukan pihak sekolah, khususnya oleh guru berinisial REP yang melakukan aksi kekerasan tersebut.

"Seharusnya lingkungan sekolah menjadi ruang aman bagi anak untuk mendapatkan penikmatan atas hak pendidikan," ujar Habibus, dalam keterangan tertulisnya yang diterima TribunJatim.com, Rabu (30/8/2023).

Selain itu, menurut Habibus, tindakan oknum guru EN dalam kasus ini yang secara paksa melakukan aksi pembotakan rambut bagian depan siswi-siswinya, sudah dikategorikan sebagai salah satu bentuk kekerasan.

Terjadinya kasus ini justru mencoreng martabat kemanusiaan anak. Bahkan, tindakan tersebut juga telah melanggar Pasal 76C UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pengertiannya, yakni 'setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.'

"Kekerasan yang dimaksud dalam UU Perlindungan Anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum," jelasnya.

Dalam kasus ini, lanjut Habibus, negara dalam hal ini, pemerintah berdasarkan Pasal 59 UU 35 tahun 2014, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kekerasan fisik dan atau psikis.

Salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah menegakkan sanksi. Kemudian, sanksi yang dapat dikenakan oleh guru tersebut mengacu pada Pasal 80 ayat (1) UU 35 tahun 2014 dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan atau denda paling banyak Rp72 juta.

Tindakan pembotakan yang dilakukan oleh oknum guru EN terhadap peserta didiknya itu, juga dikategorikan sebagai kekerasan fisik dan kekerasan psikis menurut Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbudristek) No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Perbuatan REP yang melakukan pencukuran rambut paksa terhadap para siswi berjilbab tersebut merupakan kekerasan fisik karena terjadi kontak fisik antara EN dengan para siswi korban pencukuran rambut dengan alat bantu mesin cukur.

Tindakan pencukuran rambut paksa ini juga merupakan bentuk kekerasan psikis karena berakibat merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman bagi para siswi korban.

Di sisi lain, sejatinya atribut ciput bagi siswi SMP berjilbab bukan merupakan bagian dari pakaian seragam sekolah bagi peserta didik SMP berdasarkan Permendikbudristek Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

"Oleh karenanya, pemaksaan penggunaan ciput yang dilakukan oleh oknum EN (REP) juga termasuk kategori tindakan intoleransi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b angka 1 Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 karena memaksa peserta didik mengenakan pakaian atau aksesori yang tidak termasuk seragam sekolah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan," terangnya.

Atas dasar tersebut, Habibus menegaskan, pihaknya membuat empat tuntutan atas adanya insiden tersebut.

Pertama, mendesak Polres Lamongan untuk segara mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku dan memastikan keadilan bagi korban.

Tindakan semacam ini tidak hanya merugikan para korban secara fisik dan psikologis, tetapi juga mengancam prinsip-prinsip hak asasi manusia dan perlindungan anak.

"Perlu ditegaskan pula bahwa tindakan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh EN merupakan delik biasa sehingga proses hukum tetap dijalankan sebagaimana mestinya," jelasnya.

Kedua, Mendorong sekolah untuk memastikan bahwa setiap siswa-siswi merasa aman dan dihormati dalam lingkungan belajar mereka.

Pendidikan bukan hanya tentang pemberian pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan membantu membangun masyarakat yang lebih baik.

Ketiga, Mendorong Dinas Pendidikan Lamongan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap lingkungan pendidikan.

Lingkungan pendidikan harus menjadi tempat yang aman dan mendukung, di mana para siswa merasa dihargai dan dijaga dari segala bentuk ancaman dan kekerasan.

Lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan melindungi hak-hak anak.

"Keempat, Mendorong seluruh elemen masyarakat untuk lebih peduli dan melindungi hak-hak anak. Anak-anak adalah amanah yang harus dijaga bersama, dan tindakan melanggar hak mereka tidak boleh dibiarkan terjadi dalam masyarakat yang beradab," pungkasnya. (Tribunnews.com/TribunJatim.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas