Menteri ATR/BPN sebut Masyarakat yang Tinggal di Pulau Rempang Tidak Miliki Sertifikat
Menteri Hadi Tjahjanto menyebut lahan tinggal yang menjadi pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto berbicara mengenai konflik yang terjadi di Pulau Rempang.
Dia menyebut, lahan tinggal yang menjadi pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).
Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI di Jakarta, Selasa (12/9/2023) malam.
"Tanah di Rempang itu tidak ada HGU. Tanah rempang luasnya 17 ribu hektare ini adalah kawasan hutan. Kemudian 600 hektare HPL-nya dari BP Batam. Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu, semuanya ada di bawah otorita Batam," kata Hadi.
Dikatakan Hadi, sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat.
Dia menyebut hampir 50 persen dari warganya menerima usulan yang telah disampaikan.
"Pemerintah menawarkan mencarikan tempat tinggal baru atau relokasi yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat, yakni sebagai nelayan," ucapnya.
Lebih lanjut, Hadi mengatakan pemerintah juga menyiapkan Hak Guna Bangunan (HGB) pada lahan seluas 500 hektare yang lokasinya dekat dengan laut untuk memudahkan dalam mencari nafkah.
"Dari 500 ha itu akan kami pecah-pecah dan langsung kami berikan 500 meter dan langsung bersertifikat. Di situ pun, kami bangun sarana untuk ibadah, pendidikan dan sarana kesehatan," tandas Hadi.
Baca juga: Demo soal Rempang di BP Batam Ricuh, Ini Kondisi kantor dan 2 Polisi yang Terluka
Seperti diketahui, pemerintah berencana merelokasi warga Rempang, Batam karena adanya proyek pembangunan pabrik kaca terintegrasi hasil kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Xinyi Group asal China.
Diperkirakan, total investasi sekitar 11,5 miliar Dolar AS atau setara Rp 117,42 triliun dengan total penyerapan tenaga kerja kurang lebih 30 ribu orang.
Namun, warga setempat yang telah berpuluh-puluh tahun menempati wilayah tersebut menolak relokasi dan sempat terjadi kericuhan saat polisi hendak mengamankan berbagai aksi unjuk rasa.