Daerah Perbatasan Perlu Partisipasi Aktif Cegah Praktik Perdagangan Orang Bermodus Online Scamming
Sejak 2021, kasus online scamming yang terindikasi TPPO semakin banyak bermunculan, serta banyak menyerang kalangan yang paham dunia digital.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK - Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih menjadi masalah serius di dunia, termasuk Indonesia.
Ada 2.356 korban TPPO sepanjang 2017 hingga Oktober 2022, yang tercatat di SIMFONI PPA.
Sejak 2021, kasus online scamming yang terindikasi TPPO semakin banyak bermunculan, serta banyak menyerang kalangan yang paham dunia digital.
Guna menyebarkan informasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang TPPO melalui modus online scamming, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyelenggarakan Forum Literasi Hukum dan HAM Digital dengan tema “Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Melalui Online Scamming” di Pontianak.
Kota Pontianak yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat, merupakan daerah perbatasan yang juga perlu dilibatkan dalam pencegahan dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap isu TPPO.
Plt. Direktur Informasi Dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Kemenkominfo yang diwakili oleh Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM, Astrid Ramadiah Wijaya, menjelaskan bahwa isu TPPO di Indonesia terorganisir dan begitu sistematis.
Terlebih, Astrid menjelaskan bahwa perkara TPPO telah menjadi urgensi yang dibahas dalam pertemuan KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo.
Para pemimpin negara sepakat memberantas TPPO dengan meningkatkan kapasitas penegak hukum dan lembaga terkait, serta memberikan bantuan kepada korban.
Maka, sosialisasi ke masyarakat dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong partisipasi aktif publik supaya terhindar dari TPPO, khususnya yang bermodus online scamming.
“Kesepakatan itu disusun dalam Deklarasi Pemimpin ASEAN tentang pemberantasan perdagangan orang akibat penyalahgunaan teknologi. ASEAN menyatakan bakal memperkuat kerja sama dan koordinasi terkait kasus TPPO yang disebabkan penyalahgunaan teknologi. Selain itu, ASEAN akan memperkuat kerja sama di bidang pengelolaan, perbatasan, pencegahan, penyidikan, penegakan hukum dan penindakan, perlindungan, pemulangan, serta dukungan seperti rehabilitasi kepada para korban,” jelas Astrid dalam sambutannya, Selasa (24/10).
Kepala Sub Direktorat Kelembagaan dan Diplomasi Pelindungan, Direktorat Pelindungan WNI, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Fajar Nuradi, yang hadir selaku narasumber menjelaskan bahwa ada tiga unsur yang menjadi pertimbangan penyidik dalam mengindikasi TPPO.
Kepala Sub Direktorat Kelembagaan dan Diplomasi Pelindungan, Direktorat Pelindungan WNI, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Fajar Nuradi sebagai narasumber pada FIRTUAL di Pontianak (24/10/2023).
“Yaitu aktivitas, cara, dan tujuan eksploitasi. Pada undang-undang 21 tahun 2007 di Indonesia, sedikit berbeda dalam mendefinisikan TPPO. Di negara kita, level eksploitasinya diturunkan, jadi hanya dengan tujuan mengeksploitasi korban itu sudah bisa menjerat pelaku TPPO,” jelas Fajar.
Secara umum, TPPO memiliki indikator seperti pemalsuan dokumen, usia, rute perjalanan, kekerasan fisik, trauma psikologis hingga agen yang memberangkatkan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia