Lawan Stigma dengan Rangkul ODMK, Kini Tak Ada Jalan Mundur bagi Triana
Triana Rahmawati mendirikan Griya Schizofren sebagai komunitas sosial yang peduli pada orang dengan masalah kejiwaan. Misinya, memanusiakan ODMK.
Penulis: Sri Juliati
Editor: Whiesa Daniswara
"Yang ada mereka datang dan nanya kabar dengan sangat hangat, tulus. Kalau yang perempuan, dia suka meluk. Dia bilang, 'Mbak, aku kangen sama kamu, aku sayang sama kamu,'" ucap Tria menahan haru.
Dampingi ODMK Lewat Sejumlah Kegiatan
Kehadiran Griya Schizofren layaknya sebuah oase bagi orang dengan masalah kejiwaan. Tria meniupkan asa untuk memanusiakan ODMK melalui sejumlah pendekatan
Tria dan Griya Schizofren melakukan sejumlah kegiatan yang melibatkan ODMK sebagai bagian terapi dengan prinsip sosial sejak 2012 hingga kini.
Meski sederhana, tapi kegiatan tersebut dilaksanakan Griya Schizofren secara konsisten. Misalnya mengaji, menggambar, mewarnai, mendongeng, merajut, olahraga, hingga kegiatan beauty class.
Termasuk saat HUT ke-78 RI, Griya Schizofren menggelar sejumlah lomba yang diikuti 130 orang dengan masalah kejiwaan.
Kebahagiaan begitu terpancar saat mereka mengikuti lomba makan kerupuk, joged balon, balap sarung, estafet karung, dan pensil botol.
"Lomba ini sudah menjadi agenda rutinan Griya Schizofren. Begitu juga saat Idul Fitri, Idul Adha, Hari Kartini, Hari Kesehatan Jiwa, dan lainnya, selalu ada agenda kegiatan tersendiri yang dilakukan," ucapnya.
Semua kegiatan tersebut memiliki satu muara yang sama: membentuk pola komunikasi dan membangun interaksi yang positif dengan atau antar ODMK.
Tria menjelaskan, indikator keberhasilan Griya Schizofren bukanlah kesembuhan dari orang-orang yang mengalami masalah kejiwaan.
Melainkan adanya penurunan stigma, interaksi sosial, peningkatan kepedulian terhadap ODMK, serta dukungan dari masyarakat.
"ODMK yang sembuh lalu pulang memang ada, tapi kami nggak bisa klaim itu karena Griya Schizofren, karena kami tidak mendampingi mereka selama 24/7. Kami hanya mendampingi lewat program-program yang sangat sederhana," tambah Tria.
Dalam menjalankan sejumlah kegiatan ini, Tria mengaku, Griya Schizofren banyak dibantu oleh sejumlah relawan yang berasal dari berbagai kalangan.
Para relawan datang setiap seminggu sekali untuk menjadi teman ODMK, berinteraksi dengan mereka agar bisa melewati momen tersebut.
Kegiatan ini, kata Tria, tak hanya bermanfaat bagi ODMK, tetapi juga para relawan itu sendiri.
Dengan terjalinnya relasi antara keduanya, ada kesadaran yang terbangun di antara para relawan bahwa ODMK bukanlah sosok ditakuti, dipandang sebelah mata, atau bahkan dijauhi.
"Stigma seperti itu sebenarnya bisa dikurangi ketika kita ada interaksi, pertukaran informasi, dan punya hubungan yang baik dengan ODMK," bebernya.
11 Tahun Perjalanan Griya Schizofren
Wanita kelahiran Palembang, 15 Juli 1992 itu tampak menampik, perjalanan Griya Schizofren diwarnai sejumlah kendala selama 11 tahun berjalan.
Pada awal pendirian komunitas ini, Tria sempat merasa ragu apakah kegiatan yang dijalaninya bersama ODMK, tidak bertentangan dengan ilmu psikologi atau kedokteran.
Ia takut jika yang dilakoninya tersebut malah bertentangan ilmu medis. Sebab ia belum memiliki cukup ilmu untuk hal tersebut.
"Saya kan kuliah ambil Sosiologi, sedangkan yang saya lakukan, erat kaitannya dengan psikologi atau kedokteran."
"Kira-kira program untuk membangun interaksi ODMK sudah bener belum, ya?"
"Apalagi saat itu, Griya Schizofren belum memiliki link untuk ke psikologi dan kedokteran," urainya.
Di tahun kedua, ketakutan yang dirasakan Tria tersebut mulai berkurang. Sebab, Griya Schizofren mulai dikenal terutama di kampusnya.
Sejumlah mahasiswa dari jurusan psikologi dan kedokteran ikut bergabung menjadi relawan. Mereka justru mengapreasi aksi sosial Tria.
Sejalan dengan hal tersebut, gerakan dari Griya Schizofren semakin meluas dan lebih banyak orang lagi yang ikut bergabung sebagai relawan. Bahkan jumlah relawan kala itu mencapai ratusan orang.
Di satu sisi, Tria bersyukur kegiatannya dilirik sejumlah orang. Di sisi lain,ini juga menjadi kendala bagi Tria. Ia merasa kesulitan harus mengatur dan mengoordinasi banyaknya relawan. Tria pun menilai tak perlu banyak relawan sehingga perlu dibatasi jumlahnya.
Kendala selanjutnya yang pernah dihadapi Tria adalah masalah pembiayaan. Ia mengatakan, kegiatan Griya Schizofren semula menggunakan dana bantuan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemdikbud-Ristekdikti).
"Karena ini awalnya dari kegiatan PKM yang disetujui dan didanai sebesar Rp 7,5 juta. Lama-kelamaan kan habis, jadi mau tidak mau harus memakai dana pribadi," ucap Tria.
Tria lantas memutar otak. Ia mencari cara agar kegiatan Griya Schizofren terus berjalan. Hingga akhirnya, tercetuslah ide tentang socio-preneur.
Tria 'melahirkan' usaha sosial yang diberi nama Solve (Souvenir and Love) by Givo.
Melalui platform tersebut, Tria memasarkan sejumlah karya yang dibuat ODMK saat kegiatan menggambar.
Hal ini dilakukannya untuk memupus anggapan, orang dengan masalah kejiwaan tak bisa produktif atau menghasilkan karya.
Faktanya mereka memiliki kemampuan untuk menghasilkan gambar yang bagus. Bahkan tak sedikit gambar yang dibuat, menceritakan pahit getir kehidupan mereka.
Gambar hasil karya ODMK itu lantas diolah secara digital untuk menambahkan nilai jual lalu diwujudkan dalam bentuk pouch, tas, tote bag, pin, hingga aneka suvenir lainnya.
Hasil dari penjualan ini, kata Tria, tak hanya dipakai untuk kegiatan Griya Schizofren, tetapi juga untuk membiayai iuran BPJS Kesehatan warga Griya PMI Peduli.
"Jadi hasil penjualan atas karya ODMK dikembalikan lagi pada mereka sebagai penerima manfaat," kata dia.
Di sisi lain, Griya Schizofren juga tetap menerima donasi dari masyarakat. Donasi tersebut dapat berbentuk dana atau barang.
Seperti beberapa waktu lalu, Griya Schizofren membuka donasi untuk diapers dewasa hingga make up yang dipakai untuk kegiatan beauty class.
Kini setelah kendala dana teratasi, Tria dihadapkan pada masalah baru yaitu membangun sistem di Griya Schizofren.
Tahun ini, Tria hendak mengurus legalitas serta kepengurusan Griya Schizofren.
"Setiap tahun, memang selalu ada kendala yang dihadapi dan itu berbeda-beda. Namun selalu ada kemajuan dari setiap kendala tersebut," ujarnya.
Jadi Penerima SIA 2017
Dengan segala usaha yang telah dilakoninya di Griya Schizofren, jatuh bangun agar bisa terus membersamai ODMK, Tria mengaku pernah di ambang keputusasaan.
Ini terjadi pada 2017. Saat itu, Tria yang sudah menikah merasa sangat lelah mengurus aktivitas sosialnya tersebut. Belum lagi, ia harus menghadapi para relawan yang tak konsisten hingga berjuang mencari pendanaan.
Sempat terlintas di pikiran Tria untuk menyudahi kegiatan Griya Schizofren yang dinilainya tidak memiliki dampak.
Ia hanya ingin bekerja seperti orang kebanyakan, lalu pulang dan beristirahat, tanpa perlu memikirkan orang lain, selain dirinya sendiri dan keluarga.
"Ketika itu, saya merasa tidak cukup kompeten, kayak sudah berusaha mati-matian, tapi tetap nggak ada perubahan," aku Tria.
Segala kegundahan itu lantas disampaikan Tria pada sang suami, Siswandi. Mendengar curahan hati tersebut, Siswandi diam-diam mendaftarkan sang istri dalam apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2017.
Ia menuliskan sejumlah hal yang dialami dan dirasakan sang istri melalui form di situs SIA. Cerita Tria itu rupanya menarik perhatian juri hingga didatangi oleh tim dari SIA.
"Ketika didatangi tim dari SIA, saya cerita semua hal yang selama ini dirasakan, dijalani. Saya juga mengaku bahwa saat itu, saya sedang ingin menyerah."
"Saya jelasin semua kendala dari mulai relawan, biaya, waktu, dan itu yang bikin saya merasa nggak berkembang," urainya.
Setelah melalui sejumlah proses, siapa sangka, Tria justru menjadi penerima 8th SATU Indonesia Awards dari PT Astra Internasional Tbk bidang Kesehatan sebagai pendamping masalah kejiwaan.
Apresiasi yang didapat dari Astra menjadi titik balik bagi Tria untuk semakin menebar manfaat bagi orang yang memiliki masalah kejiwaan melalui Griya Schizofren.
Menurut Tria, tak ada lagi jalan mundur bagi dirinya dari kegiatan sosial ini.
"Nggak ada lagi jalan untuk berhenti, kenapa? karena kami sudah dipercaya oleh juri-juri skala nasional untuk terus melakukan kegiatan atau hal baik ini. Kalau mereka saja sudah percaya pada kita, kenapa kita tidak?" kata dia.
Dukungan dari sejumlah masyarakat untuk keberlangsungan Griya Schizofren dalam mendampingi ODMK juga menjadi alasan Tria.
Bagi Tria, bisa melakukan sesuatu hal yang bersifat sosial dan tidak dibayar merupakan satu sumber kebahagiaannya.
"Saya melakukan ini secara sukarela, non profit, nggak dibayar, tapi saya malah seneng. Jadi saya merasa ada sesuatu hal yang lebih besar ketimbang hal-hal yang sifatnya material," ungkapnya.
Apalagi setelah melakoni sejumlah hal bersama Griya Schizofren, Tria semakin tertarik dengan isu kesehatan jiwa dan orang-orang yang ada di dalamnya.
Menurut Tria, masalah tentang mental health sangat relate dengan kehidupan sehari-hari. Terlebih pada zaman sekarang pada kelompok generasi Z.
Ia semakin penasaran dan terus mencari cara lain agar semakin bisa memanusiakan ODMK sehingga bisa mendukung kemajuan dalam kehidupan mereka.
Tria juga kian masif melakukan kampanye untuk mengikis stigma terhadap ODMK. Menggunakan banyak platform mulai dari seminar hingga siniar, Tria menggaungkan informasi yang seutuhnya tentang ODMK.
Selain melalui Griya Schizofren, ia juga membuat kegiatan bernama Wisata Jiwa.
Dalam kegiatan itu, masyarakat akan mendapatkan edukasi dasar mengenai kesehatan mental.
Mereka juga dapat berinteraksi langsung bersama ODMK dengan mendongeng serta berbagi keceriaan melalui bakti sosial (baksos) di Griya PMI Peduli.
Dengan interaksi ini, masyarakat diharapkan akan mendapatkan informasi secara utuh mengenai ODMK, yang ternyata jauh berbeda dengan stigma yang selama ini berkembang.
Ia ingin agar masyarakat semakin tahu dan paham, ODMK juga memiliki akses yang terbuka untuk dihargai sebagai manusia yang punya kemampuan.
Jika hal baik ini terus dilakukan, Tria percaya, masyarakat akan semakin lebih terbuka tentang masalah kejiwaan di masa mendatang.
Mereka juga tidak akan lagi takut saat bertemu dengan ODMK bahkan bisa duduk nyaman, berdampingan bersama orang dengan masalah kejiwaan.
"Jadi output yang paling membahagiakan buat saya ketika ada yang bilang dia tidak lagi takut melihat ODMK, nyaman dengan mereka."
"Termasuk ketika masyarakat lebih open minded tentang masalah kejiwaan, bahwa masalah kejiwaan bukan suatu hal yang harus ditakuti."
"Sebab ketika kita aware dengan kesehatan jiwa diri kita sendiri, maka kita akan lebih mudah berempati dengan kondisi orang lain," papar dia.
Selain itu, di masa depan, Griya Schizofren juga punya sejumlah misi terkait kesetaraan orang dengan masalah kejiwaan.
Di antaranya ODMK harus memiliki akses yang terbuka serta akses dihargai sebagai manusia yang punya kemampuan.
"ODMK juga bisa mengakses pertemanan, diakui secara manusia, dimanusiakan, tanpa harus selalu dilihat dari masalah kejiwaan," pungkasnya. (*)