Kata Akademisi soal Aksi Mahasiswa Usir Pengungsi Rohingya di Aceh
Ia mengatakan, aksi mengusir paksa tersebut merupakan tindakan anarkis dan memalukan.
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Seorang akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Banda Aceh, Saiful Akmal, komentari aksi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara yang menerobos Balai Meuseuraya Aceh (BMA) dan bawa paksa pengungsi Rohingya ke Kantor Kanwil Kemenkumham Aceh.
Ia mengatakan, aksi mengusir paksa tersebut merupakan tindakan anarkis dan memalukan.
Aksi tersebut juga disebut bisa mencoreng wajah Aceh.
Terlepas berbagai dinamika yang ada, menurutnya pengungsi Rohingya wajib dibantu. Selain sebagai sesama muslim, juga karena nilai-nilai kemanusiaan.
“Jika saudara yang jauh di Palestina saja dibantu, maka yang dekat dan didepan mata juga demikian. Tentu dengan kadar kemampuan yang dipunyai,” katanya, Kamis (28/12/2023).
Ia juga mengapresiasi masyarakat setempat, Pemerintah Aceh dan Kabupaten yang dengan keterbatasan terus berusaha membantu para pengungsi Rohingya tersebut.
Baca juga: Pengusir Pengungsi Rohingya Memakai Almamater Kampus Al Washliyah, Begini Klarifikasi Universitas
Saiful Akmal dalam pernyataannya, juga meminta semua pihak agar tidak gampang diprovokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Khususnya terkait disinformasi yang berseliweran di sosial media terkait keberadaan pengungsi Rohingya dan tidak main hakim sendiri.
“Agak aneh dan terkejut dengan aksi konyol oknum mahasiswa itu. Dulu Aceh membuat tagar #SaveRohingnya di tahun 2015, lalu kenapa kini arahnya berbalik menjadi ‘Tolak Rohingya’. Ada apa dengan nilai kemanusiaan kita?,” ujar Saiful Akmal heran.
Menurutnya, jika ada masalah dengan oknum pengungsi Rohingya yang melampaui batas, tidak kemudian menjustifikasi tindakan anarksi dan tidak bisa diterima tersebut.
Pun jika dugaan human smuggling atau bahkan human trafficiking terkait pengungsi Rohingya, biarkan pihak berwajib yang menjalankan tugasnya.
Dalam pandangannya, kunci polemik Rohingnya ini paling tidak ada beberapa hal. Pertama, perlu penguatan intensitas dan penyamaan kesepahaman persepsi antara para stakeholder dalam manajemen penanganan pengungsi Rohingya di Aceh.
Selanjutnya perbaikan tata kelola panduan penanganan kepengungsian di Indonesia, meski ada Undang Undang 125 Tahun 2016 yang mewajibkan memberikan kamp penampungan sementara dan kebutuhan dasar.
“Dalam konteks ini, Pemerintah Aceh, kabupaten, aparat penegak hukum (polhukam), dinas terkait dari pihak pemerintah harus diakui sudah mencoba melakukan penanganan. Hal ini patut diapresiasi,” tutur Dosen UIN Ar-Raniry ini.
Di sisi lain, kompleksitas masalah yang berskala multi level, mulai lokal, nasional, regional dan internasional juga mau tidak mau akan melibatkan pemangku kepentingan internasional seperti UNHCR dan IOM.