Gagap Pemilih Pemula Kelompok Minoritas di Pilpres 2024: Infobesitas hingga Trauma Masa Lalu
Nurul Amalia mengatakan di masa kampanye ini memang bermunculan konten hoaks menggunakan narasi diskriminatif kepada kelompok minoritas
Penulis: Imam Saputro
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
“ Harus ada tindakan langsung dengan memberikan perlindungan bagi kelompok dengan keragaman identitas gender dan seksual serta memberikan fasilitas yang sesuai,” harap dia.
“ Saya lihat yang ada di medsos, cuplikan debat juga lihat, namun saya sudah menentukan pilihan untuk tidak memilih,” ungkap Tri.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia mengatakan di masa kampanye ini memang bermunculan konten hoaks yang menggunakan narasi diskriminatif ke kelompok minoritas.
“ Dari data Mafindo (Masyarakat Antifitnah Indonesia) konten-konten itu menyasar kelompok minoritas dan marjinal seperti rekan disabilitas, LGBTQI, dan etnis Tionghoa,” ungkap wanita yang akrab disapa Amel ini.
Menurutnya, hal itu muncul bisa sebagai cara untuk mendelegitimasi proses pemilu, misalnya ke pengusikan hak memilih disabilitas mental.
“ Dan cara tak terpuji itu juga untuk menggaet suara, misal narasi anti LGBT di beberapa daerah,” kata Amel.
Untuk itu, kata dia, masyarakat diminta waspada dan selalu memverifikasi informasi yang beredar, utamanya jika menyangkut isu sensitif di Pilpres 2024 ini.
Isu Kelompok Minoritas di Debat Capres 2024
Dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Agus Riewanto yang juga satu di antara panelis debat pertama Capres 2024 mengatakan isu soal kelompok minoritas sebenarnya masuk dalam pertanyaan di debat Capres pertama pada Senin 12 Desember 2023.
“ Pertanyaan soal kelompok minoritas seperti kelompok minoritas agama, kebebasan beragama kelompok minoritas, penghayat kepercayaan, soal pendirian rumah ibadah, lalu masalah difabel kemudian perempuan itu sudah kami siapkan, namun pertanyaan itu sayangnya tidak muncul,” kata dia.
Pada debat capres pertama yang mengusung tema Pemerintahan, Hukum, HAM, Pemberantasan Korupsi, Penguatan Demokrasi, Peningkatan Layanan Publik, dan Kerukunan Warga itu, 18 pertanyaan sudah disiapkan oleh 11 penelis, termasuk soal kelompok minoritas.
“ Itu murni karena di undian tidak muncul, waktu debat kan terbatas sehingga mekanismenya pertanyaan yang diberikan ke kandidat diundi, kebetulan soal kelompok minoritas tidak muncul” kata Agus ketika diwawancarai Tribunnews.com akhir Desember 2023.
Meski demikian, ia berharap pada capres-cawapres bisa memberikan perhatian ke kelompok minoritas dalam berkampanye.
“ Mungkin suaranya tidak signifikan, tapi setidaknya ada perhatian ke teman-teman kelompok minoritas bahkan jaminan keadilan sosial di masa mendatang bisa terwujud, karena yang bisa mewujudkan (keadilan sosial) ya negara,” kata dosen Fakultas Hukum UNS Solo ini.
Infobesitas informasi Pemilu 2024
Sementara itu, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri ( UIN ) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Irawan Wibisono menyoroti fenomena yang jamak terjadi pada pemilih pemula, termasuk Eka, Dwi, dan Tri.
Ia menyebut banjir informasi di media sosial banyak menimpa generasi milenial khususnya pemilih pemula.
“ Sekarang semua paslon masif kampanye di media sosial, muncul banyak sekali informasi yang bisa sampai ke pemilih, apalagi pemilih pemula yang tiap hari pegang HP atau gadget lainnya,” kata dia.
“ Hal itu perlu dibarengi dengan kemampuan memilih informasi yang benar atau literasi informasi tengah banjir informasi soal capres-cawapres di media sosial.”
Irawan mengimbau kepada pemilih pemula untuk selalu melakukan konfirmasi ulang terhadap semua informasi soal capres-cawapres.
“ Bisa googling sendiri, atau tanya ke orang tua juga perlu, jangan mentang-mentang FYP di Tiktok itu pasti benar, harus dicek lagi,” kata dia.
Banjir informasi soal Pemilu 2024 bisa membuat pemilih pemula infobesitas atau kelebihan informasi soal pemilu sehingga menyebabkan kebingungan.
“ Akan tetapi saat ini sangat susah untuk bisa menghentikan banjir informasi, yang bisa dilakukan pemilih pemula adalah “berenang” di tengah banjir informasi tersebut, caranya ya disiplin verifikasi untuk memilah informasi mana yang dapat dipercaya,” tegasnya.
Menurut Irawan, pemilih pemula harus lebih rajin untuk memverifikasi informasi.
“Dikaitkan ke rekan minoritas, adanya opinion leader di kelompoknya masing-masing itu bisa membantu untuk diskusi hingga bisa ke menentukan pilihan, karena faktor pengalaman tentunya, selain pemilih pemula bisa aktif mencari informasi yang benar dengan caranya sendiri,” kata dia.
“ Seperti cara kerja wartawan, harus verifikasi beberapa kali untuk meyakinkan, jangan dari satu sumber terus dianggap benar lalu disebar-sebarkan, saya kira generasi sekarang sudah pintar-pintar,” pesan Irawan.
Ia juga berharap tim kampanye pasangan capres dan cawapres selain memberikan informasi soal visi misi juga memerangi misinformasi atau disinformasi yang beredar di media sosial.
“ Harapannya ada pendidikan politik yang ditunjukkan oleh paslon dan timnya, agar generasi muda bisa mendapatkan ilmu dalam pesta demokrasi ini,” tutup Irawan.
Sebagai informasi, dari 204 juta pemilih yang terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap) Pemilu 2024, jumlah pemilih muda mencapai 106.358.447 jiwa.
Rinciannya, pemilih berusia 17 tahun sebanyak 0,003 persen atau sekitar 6 ribu jiwa. Kemudian pemilihan dengan rentang usia 17 tahun hingga 30 tahun mencapai 31,23 persen atau sekitar 63,9 juta jiwa.
*Eka, Dwi, dan Tri bukan nama sebenarnya