Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Perkara Tewasnya Nenek yang Dituduh Curi Kemiri, Ahli: Alat Bukti Tak Sesuai 

Jaksa hendaknya hati-hati dan jeli menerapkan pasal terhadap suatu kasus, jangan pembelaan diri (Pasal 49), tetapi justru dijerat pasal pembunuhan 

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Perkara Tewasnya Nenek yang Dituduh Curi Kemiri, Ahli: Alat Bukti Tak Sesuai 
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com Hasanudin Aco

TRIBUNNEWS.COM, MEDAN – Kasus tewasnya pencuri kemiri di Kecamatan Onan Runggu, Kabupaten Samosir, Sumatra Utara, memasuki babak baru. 

Perkaranya kini sedang dalam proses persidangan dengan terdakwa Merry Panggabean (MP).




Ia didakwa pasal pembunuhan karena memukul Lermin Harianja (LH) hingga tewas. 

Peristiwa berawal dari terpergoknya LH sedang mencuri kemiri di lahan milik keluarga terdakwa, pada 3 Agustus 2023 sekitar pukul 09.00 WIB.

Karena ketahuan mencuri, LH pun kabur. Awalnya MP ingin memastikan kalau LH sudah benar-benar meninggalkan areal lahan, tetapi ia mendapati tetangganya jatuh terkapar di tanah. Ia buru-buru menduduki tubuh dan memukul wajah korban menggunakan ranting buah kelapa. 

Kejadiannya berlangsung singkat. Terdakwa meninggalkan korban masih dalam keadaan hidup dan sempat berteriak keras balik menuduh terdakwa sebagai pencuri.

BERITA TERKAIT

Terdakwa tak menggubris teriakan korban lalu pulang ke rumah. Tiba-tiba, sore harinya diperoleh kabar LH sudah tewas.

Baca juga: Tertimpa Pohon Kemiri, Remaja asal Manggarai Ini Ditemukan Tak Bernyawa

Ujung-ujungnya MP ditahan dan langsung ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Dasarnya adalah pengakuan saksi-saksi yang secara bersama-sama menyaksikan langsung perkelahian dengan cara mengintip lewat lubang dinding rumah penduduk sekitar lokasi kejadian.

Menurut penasihat hukum terdakwa, Uba Rialin, sebenarnya sejak awal kasus ini penuh kejanggalan. Salah satunya, ranting kelapa yang disebutkan terdakwa tidak pernah dihadirkan sebagai barang bukti dalam persidangan. 

Jaksa justru menyodorkan barang bukti yang diduga menjadi alat kejahatan berupa pelepah kelapa layu, sandal plastik dan kantung plastik berisi buah kemiri yang diambil dari sekitar tempat kejadian perkara.

Barang bukti yang diajukan jaksa dalam persidangan, menurut Uba Rialin patut dipertanyakan. Soalnya, bagaimana mungkin pelepah kelapa, sendal jepit atau kantung plastik berisi buah kemiri dapat menyebabkan kematian. Apalagi, berdasarkan hasil otopsi ahli forensik barang-barang bukti tersebut bukan penyebab pendarahan hebat di rongga kepala bagian belakang yang menjadi penyebab kematian LH. 

Fakta lain yang terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Balige, Sumatra Utara, Rabu (10/1) malam, terungkap ada dua jenis luka di badan korban, yakni luka pertahanan dan luka yang menyebabkan kematian.

Parahnya lagi, berdasarkan keterangan saksi ahli forensik ada ketidaksesuaian antara hasil autopsi dan bukti-bukti yang dihadirkan penyidik.

"Ada peristiwa lain yang mungkin menyebabkan luka fatal yang menjadi penyebab kematian," kata penasihat hukum ini. 

Perlu diketahui, dalam persidangan saksi ahli Dokter Forensik Eben Ezer Debora AM Purba menyebutkan, penyebab kematian korban bukan berasal dari barang-barang bukti yang diajukan penyidik dalam persidangan yaitu sendal, ranting kelapa dan kemiri. 

Menurut dia, korban mengalami retak tulang dasar tengkorak pada rongga kepala serta pendarahat hebat akibat trauma benda tumpul.

Hal ini dikuatkan hasil autopsi dan hasil pemeriksaan penunjang patologi anatomi.

“Kematian berasal dari bekas kaki, bukan alat yang seharusnya ada di lokasi kejadian. Jadi, Lermin Harianja meninggal mati lemas akibat pendarahan signifikan pada rongga kepala,” ujar saksi ahli kepada wartawan. 

Dalam persidangan, dokter forensik juga menampik anggapan kalau korban mati lemas akibat diduduki terdakwa.

Sekadar informasi, dalam dakwaan disebutkan terdakwa sempat menduduki bagian perut korban tetapi, menurut ahli tindakan terdakwa tidak menyebabkan kematian.

Atas dasar analisa saksi ahli dokter forensik inilah tim penasihat hukum melihat ada ketidaksesuaian antara barang bukti yang diajukan penyidik dengan luka penyebab utama meninggalnya LH.

Malah, saksi ahli sempat menunjukkan perbedaan postur tubuh dan bentuk luka yang tidak sesuai dengan versi penyidik. "Ini bukanlah perbuatan terdakwa. Profil luka penyebab kematian korban tak sesuai dengan barang-barang bukti yang dihadirkan penyidik" tegas Rialin. 

Bebas dari Dakwaan

Persidangan juga mengundang saksi ahli hukum pidana Prof Dr Maidin Gultom. Rektor Universitas Katolik Santo Thomas ini berpandangan, dalam mengungkap kasus pidana jaksa harus bisa membuktikan dakwaan dengan adanya unsur kesengajaan dan kesalahan menggunakan alat bukti yang sah dan dengan barang-barang bukti yang ditampilkan yang berkesesuaian antara satu dengan yang lain. 

Ia mencontohkan, dalam perkara terkait hilangnya nyawa seseorang, hasil autopsi sangat penting. Karena hasil autopsi ahli forensik dapat menerangkan penyebab kematian sesuai  alat bukti yang sah.

Tak hanya itu, lewat haasil autopsi juga bisa diketahui barang-barang bukti apa yang digunakan untuk menghilangkan nyawa seseorang. 

Intinya, barang butkti yang digunakan pelaku harus sinkron dengan keterangan saksi dan hasil autopsi.

“Dalam hal ini, asas berkeadilan dan kebenaran paling dikedepankan dalam menangani kasus. Dalam penegakan hukum, kebenaran dan keadilan adalah panglima utama.

Kalau memang alat bukti beserta barang-barang bukti tidak sesuai/tidak sinkron dengan hasil autopsi, ya harusnya terdakwa bebas dari dakwaan, sebagaimana diatur Pasal 191 Ayat (1) KUHAP yang isinya: Jika pengadilan berpendapat dari hasil pemeriksaan di siding, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas,” terang Maidin kepada wartawan.

Ahli hukum ini juga mengingatkan, jaksa hendaknya hati-hati dan jeli menerapkan pasal terhadap suatu kasus. Jangan sampai terjadi kasus yang seharusnya dikenakan pasal pembelaan diri (Pasal 49), tetapi malah dijerat pasal pembunuhan. 

Dalam persidangan hakim juga menanyakan bisa tidaknya menjerat pidana sesesorang dengan Pasal 165 Ayat (1 dan 2) KUHP karena membiarkan kejahatan yang berakibat pada terancamnya nyawa orang lain. “Ya bisa, itu ancaman pidananya sembilan bulan,” tukas Prof Maidin.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas